Lihat ke Halaman Asli

Literasi dan Kolaborasi Trans-Komunitas

Diperbarui: 5 September 2018   08:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Penggiat literasi kian menjamur di seantero nusantara. Pustaka Bergerak Indonesia (PBI) dan penggagasnya (Nirwan Ahmad Arsuka) telah menjadi pemantiknya.

Dalam dua tahun terakhir, rumah-rumah baca bertumbuh bak jamur di musim hujan hingga ke pelosok desa. Semakin banyak penggiat literasi yang mengambil peran untuk menyiapkan buku-buku sebagai sumber bacaan. Seperti pesta-pesta yang digelar dengan meriahnya, gerakan sosial ini layak diapresiasi sebagai langkah pasti mewujudkan amanah konstitusi: mencerdaskan kehidupan bangsa.

Lalu, seberapa besar dampak dari gerakan massif ini terhadap kemajuan minat baca masyarakat? Konon, berdasarkan berbagai riset seperti yang dilakukan UNESCO tahun 2016, Indonesia termasuk negara dengan tingkat minat baca kedua terendah di dunia. Apakah data ini sungguh-sungguh menggambarkan realitas literasi tanah air? Bagi beberapa penggiat literasi di Indonesia, tesis ini hanyalah mitos belaka. Faktanya, minat baca warga Indonesia sebetulnya tinggi. Jadi, akses akan buku-buku berkualitas yang sangat terbatas adalah akar persoalannya.

Bayangkan, betapa sulitnya sumber bacaan bagi anak-anak di pedalaman apalagi di perbatasan. Keterbatasan mendapatkan buku tidak hanya disebabkan oleh tidak adanya perpustakaan yang representatif, tetapi juga karena biaya pengiriman buku-buku ke daerah itu sangat mahal. Bahkan, melampaui harga buku itu sendiri.

Topik ini mengemuka pada sebuah "Road Show" literasi yang digelar Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan di Hotel Celebes Makassar (4/9/2018). Dikemas dalam bentuk diskusi, bertajuk "Berbagi Kisah dari para penggiat literasi", forum ini berlangsung meriah sebab dihadiri kurang lebih 200 peserta. Mereka yang hadir tidak hanya mahasiswa, penulis, wartawan, aktivis, dan penggiat literasi, tetapi juga guru-guru sekolah hingga stakeholders dari berbagai desa di Sulawesi Selatan.

Bekerja sama dengan sebuah komunitas bernama Keluarga Literasi Indonesia, diskusi ini dihadiri empat narasumber antara lain; Anis Kurniawan (Penulis, Founder Keluarga Literasi Indonesia), Andhika Mappasomba (Penyair), Brigpol Ilham Nur (Polisi penggiat literasi di pelosok desa Sinjai) dan Andi Ahmad Saransi (Kepala Bidang Dinas Perpustakaan dan Arsip provinsi Sulawesi Selatan).

Ahmad Saransi yang memulai sesi pertama banyak bercerita terkait peran pemerintah dalam peningkatan minat baca. Dalam paparannya, Saransi mengemukakan berbagai perbaikan-perbaikan yang telah ada semisal secara kelembagaan status Perpustakaan sudah meningkat dari yang awalnya "Badan" sekarang menjadi "Dinas". Perubahan ini dengan sendirinya berdampak pada antara lain porsi anggaran dan kewenangan Dinas Perpustakaan di setiap daerah untuk menyusun program-program berkaitan dengan perbukuan dan minat baca.

Meskipun demikian, masih ada masalah-masalah teknis yang belum sepenuhnya terselesaikan seperti jumlah pustakawan yang masih sangat terbatas. Bayangkan, jumlah pustakawan se-Sulawesi Selatan tidak sampai 200 orang. Pustakawan ini bertugas untuk menjangkau masyarakat Sulawesi Selatan yang secara geografis cukup luas. "Jadi, setiap pustakawan setidaknya membawahi 25.000 masyarakat. Dengan jumlah yang ada sekarang tentu belumlah cukup," kata Saransi.

Oleh sebab itu, lanjut Saransi, diperlukan partisipasi warga dan komunitas untuk ikut berpartisipasi membangun perpustakaan baik di kantor masing-masing bahkan di rumah-rumah. Pernyataan ini didukung oleh Anis Kurniawan. Menurut Anis, masalah yang ada di masyarakat adalah ketersediaan buku-buku. Semestinya, pemerintah concern untuk menyiapkan buku-buku sebanyak-banyaknya. "Kalau buku-buku tersedia, minat masyarakat untuk membaca pasti tumbuh dengan sendirinya." Jelas Anis.

Penyair Andhika Mappasomba yang punya pengalaman berkeliling hingga ke perbatasan Indonesia-Malaysia menunjukkan fakta menarik bagaimana sulitnya pengiriman buku ke pelosok. "Bukan soal membeli bukunya, tapi soal biaya pengirima buku yang bisa tiga kali lipat dari harga buku," tutur Andhika.

Pengalaman Brigpol Ilham Nur seorang Polisi yang bertugas sebagai Kamtibmas di sebuah desa di Sinjai cukup membuka mata peserta diskusi. Di tiga desa tempatnya bertugas, akses transportasi sangatlah sulit. Jalanan tak beraspal. Kendaraan roda empat sangat sulit menembus pedalaman. Padahal, di pelosok itu terdapat beberapa sekolah (SD, SMP) dimana ada ratusan anak-anak yang membutuhkan akses bacaan. "Tapi, buku-buku sangatlah terbatas," kata Ilham.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline