Lihat ke Halaman Asli

Sosok Presiden Jokowi: Pencitraan atau Karakter?

Diperbarui: 29 Oktober 2018   16:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

foto: NasionalKompas

Sejak kemunculannya di panggung nasional, nama Joko Widodo selalu dikaitkan dengan politik pencitraan. Hal itu mulai ramai dibicarakan ketika dirinya menjadi Gubernur DKI Jakarta, kemudian ketika maju sebagai calon presiden tahun 2014, hingga akhirnya terpilih menjadi Presiden RI.

Selama ini, pihak yang berseberangan dengan Jokowi selalu menyerangnya dari sisi pencitraan ini, baik dari sisi pribadi maupun kebijakannya.

Berbagai hal dikomentari sebagai politik pencitraan, mulai dari blusukan Jokowi ke berbagai daerah, pembangunan proyek infrastruktur, kunjungannya ke Lombok dan Palu dalam meninjau penanganan bencana, peresmian Asian Games yang meriah, hingga pembebasan Tol Jembatan Suramadu beberapa hari lalu. Semuanya itu disebut sebagai politik pencitraan Jokowi.

Namun, benarkah demikian?

Presiden Jokowi diakui memang memiliki cara yang unik untuk menyapa masyarakat. Mulai dari blusukan, berbincang langsung dengan rakyat, naik motor trail, bergaya seperti anak muda, hingga memanfaatkan perkembangan teknologi informasi terbaru seperti video blog (vlog). Hal itu merupakan bagian dari komunikasi politik Jokowi kepada rakyatnya.

Apa yang dilakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tentu berbeda dengan pendahulunya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Keduanya memilih pendekatan yang nyaris bertolak belakang. Oleh karenanya, penangkapan kesan di masyarakat (citra) dari kedua tokoh itu juga berbeda.

Bila Jokowi selama ini terlihat santai, sederhana, gemar melontarkan lelucon, tertawa lepas, bahkan tidak ragu untuk melakukan kontak fisik dengan siapapun, berbeda dengan SBY yang lebih menegakkan protokoler sebagai presiden. Presiden SBY memang lebih terkesan kaku, formal, dan gayanya yang tegap khas tentara.

Namun, tak semuanya lantas kita jadikan acuan bahwa Presiden Jokowi melakukan pencitraan dalam setiap laku kebijakannya. Kita perlu membedakan antara politik pencitraan dengan karakter atau watak seseorang.

Apa yang ditampilkan Presiden Jokowi hari ini sebenarnya lebih terlihat sebagai watak atau karakter dasar yang memang dimilikinya sejak dulu. Misalnya, terkait sikap sederhana, 'ndeso', ataupun pendekatannya yang lebih 'merakyat' itu.

Pendekatannya yang terkesan 'humble' dengan masyarakat itu bisa dilacak jauh ke belakang saat ia masih menjabat sebagai walikota Solo. Kala itu, Jokowi memiliki program relokasi pedagang kaki lima di kawasan Banjarsari di kota Solo ke Pasar Klitikan.

Ia menolak menggunakan Satpol PP dan menggusur paksa para pedagang yang ada. Jokowi lantas mengajak 11 paguyuban PKL untuk makan siang bersamanya di kantor Walikota, Lojigandrung, Solo. Setelah beberapa kali makan siang, para pedagang itu akhirnya bersedia direlokasi tanpa kekerasan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline