Lihat ke Halaman Asli

Andreas Rio pamungkas

Penulis, Pendidik, Jurnalis

Ketika Kebiasaan Lebih Kuat dari Kebenaran

Diperbarui: 4 September 2025   23:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Stigmatisasi

Bangsa Indonesia sering membanggakan diri sebagai bangsa yang kaya budaya, ramah, dan menjunjung tinggi nilai gotong royong. Namun, di balik kebanggaan itu, ada pula warisan kebiasaan yang sesungguhnya menjadi batu sandungan bagi kemajuan. Stigma yang salah kaprah, namun terlanjur dianggap lumrah, perlahan-lahan membentuk pola pikir kolektif yang sulit diurai.


Salah satu stigma yang paling kentara adalah pandangan bahwa pendidikan hanya sekadar mencari ijazah. 

Banyak orang tua yang masih menekankan nilai rapor ketimbang kemampuan berpikir kritis. Akibatnya, sekolah sering dipandang sebagai "pabrik gelar", bukan ruang pencerdasan. Dalam jangka panjang, mentalitas ini melahirkan generasi yang lebih terlatih menghafal daripada menalar.


Stigma lain yang melekat kuat adalah glorifikasi keikhlasan, terutama pada profesi guru dan tenaga sosial. Guru sering dianggap "pahlawan tanpa tanda jasa" yang tak perlu menuntut kesejahteraan. Pandangan ini romantis, tetapi menyesatkan. Sebab, di balik ikhlas, ada hak-hak yang seharusnya diperjuangkan agar profesi mulia itu tetap bertahan dengan martabat.


Budaya sungkan yang berlebihan juga menjadi wajah lain dari stigma kita. Hormat kepada yang lebih tua memang penting, tetapi sering kali rasa segan membungkam kritik. Dalam masyarakat, orang yang berani berbeda pendapat kerap dianggap kurang ajar atau melawan. Padahal, kritik seharusnya menjadi vitamin bagi perbaikan, bukan racun yang ditakuti.


Tidak kalah serius adalah stigma terhadap kesehatan mental. Masih banyak yang menganggap depresi atau kecemasan sekadar tanda kurang iman, alih-alih persoalan medis. Akibatnya, penderita justru semakin tertekan karena minim ruang untuk mencari pertolongan. Ini bukan hanya masalah individu, melainkan juga masalah sosial yang merugikan bangsa secara keseluruhan.


Semua stigma salah kaprah ini lahir dari kombinasi budaya feodal, rendahnya literasi, dan kecenderungan untuk mempertahankan kebiasaan lama meski tidak relevan lagi. Jika bangsa ini ingin melangkah lebih jauh, maka keberanian untuk mengoreksi stigma adalah sebuah keharusan.

Melawan kebiasaan salah bukan berarti melawan budaya, melainkan menyelamatkan budaya dari pembusukan.
Kita perlu berani menumbuhkan cara pandang baru yang sehat, adil, dan rasional. Sebab bangsa yang besar bukanlah bangsa yang hanya memuja warisan, melainkan bangsa yang mampu mengkritisi dan memperbaruinya. Indonesia tak akan pernah benar-benar merdeka selama stigma salah kaprah masih dibiarkan menjadi akar yang mencengkeram pikiran rakyatnya

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline