Lihat ke Halaman Asli

Bangsa Koeli

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebenarnya gak enak menyebut bangsa sendiri seperti itu. Tapi begitulah keadaannya sekarang ini. Kalau ini terus berlanjut, maka kita justru akan terjebak kepada kemiskinan structural dimana rakyat akan terdorong untuk melakukan pekerjaan apa saja asal perut tetap terisi.

Tak usah dibandingkan dengan Negara-negara Eropah atau Amerika Serikat, dengan Malaysia saja yang dulu murid kita, Indonesia tak ada apa-apanya. Sialnya lagi, Malaysia makin sering menyerahkan tenaga kasarnya seperti kuli bangunan, pembantu, buruh pabrik dan sebagainya, kepada orang Indonesia.

Padahal sekitar tahun 70-an sampai 80-an untuk mempercepat mutu pendidikan, pemerintah Malaysia banyak mendatangkan guru dari Indonesia. Bahkan perusahaan minyak mereka, Petronas, yan sekarang mampu membangun The Twin Tower, dulunya adalah murid Pertamina.

Tapi itu dulu,  mantan murid Indonesia itu sekarang mulai kurang ajar sama anak gurunya. Lihatlah betapa banyak anak gurunya itu yang diperlakukan layaknya budak. Hanya karena masalah paspor dan ijin kerja yang harusnya bisa diseleaikan secara baik-baik sebagai bangsa serumpun, ratusan bangsa Indon (kata mereka) diburu layaknya binatang oleh sekumpulan oknum Polis Diraja Malaysia sehingga harus lari pontang-panting bahkan sampai bersembunyi dihutan segala.

Padahal sebenarnya anak-anak bangsa itu rela pulang aik-baik ke Indonesia asal gaji mereka dibayar. Tapi malah ini dijadikan peluang bagi majikan di Malaysia untuk menunggak gaji mereka yang telah diperas tenaganya selama setahun.

Kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Malaysia. Justru kitalah yang seharusnya memperkuat diri terutama dalam lobi-lobi Internasional. Posisi Malaysia jelas lebih kuat. Posisi mereka adalah majikan, yang punya duit, sedangkan kita jongos yang siap menerima pekerjaan apapun yang mereka suruh.

Apalagi didukung perangkat hukum yang lebih mengutamakan harkat dan martabat bangsa mereka, yang sewaktu-waktu dapat digunakan untuk memperlakukan “kuli-kuli”itu tak ubahnya sampah yang mengotori halaman rumah mereka.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline