Lihat ke Halaman Asli

Johan Lamidin

Aktivis dan Jurnalis Freelance asal Pattani, Thailand

Afghanistan, Negara Perang dan Buku

Diperbarui: 7 April 2018   05:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Warga Afghanistan sedang membaca puisi di sebuah toko di Kabul. Fenomena peningkatan minat baca buku bisa menjadi cara terbaik dalam situasi konflik perang sipil saat ini. (The New York Times/Mauricio Lima)

"Buku itu selalu kuat, di manapun dia berada. Bahkan di negara-negara seperti Afghanistan. buku itu bisa mempertahankan hidup, " 

Afghanistan adalah negara yang terbengkalai. Selama bertahun-tahun dalam pergolakan perang sipil, mata uang asing telah membuat ekonomi jatuh ke dalam keadaan inflasi, sampai industri lokal ambruk. Dan hari ini hanya ada sedikit yang tidak harus diimpor negara ini. Salah satunya adalah opium, dan satu hal lagi adalah bukunya.

Sementara banyak lembaga penerbit Negara ini sedang berjuang dengan penurunan bisnis media cetak. Selama tiga tahun terakhir, media cetak di Afghanistan telah berkembang pesat. Sebaliknya, secara statistik, negara ini memiliki tingkat ilmuan literatur yang sangat rendah.

Hanya dua pertiga orang Afghanistan yang menjadi literatur. Dan mereka itu sepertinya belajar membaca, sementara negara ini masih penuh dengan kekerasan, perang dan konflik politik.

Mungkin karena dalam masyarakat seperti itu. Fenomena peningkatan minat baca buku bisa menjadi cara terbaik.

"Saya pikir bahwa dimanapun kita berada dalam situasi lingkungan - khususnya keadaan perang. Membaca itu akan membantu menciptakan ruang untuk bisa bernapas dari hari ke hari. Dan ia bisa memisahkan pembaca dari hal-hal yang mengelilinginya saat membaca. " kata Jamshid Hashimi, administrator perpustakaan online dan pendiri klub buku di Afghanistan,

Ia menambahkan bahwa buku adalah sesuatu kekuatan yang bisa bertahan dalam situasi yang buruk,

"Buku itu selalu kuat, di manapun dia berada. Bahkan di negara-negara seperti Afghanistan. buku itu bisa mempertahankan hidup, " Tegas Hasyimi.

sebuah toko buku yang masih aktif di kota Kabul. (The New York Times/Mauricio Lima)

Tidak heran, penerbit di negara ini selalu diinvestasikan oleh warganya sendiri. Dan paling istimewa bahwa Bisnis tersebut tidak pernah bergantung pada subsidi negara atau eksekutif asing.

"Semua ini milik orang Afghanistan. Dibangun oleh orang Afghanistan, " kata pemilik sebuah penerbit dan sebuah toko buku yang masih aktif.

"Ini adalah saat yang sangat mengasyikkan bagi dunia buku. Penerbit mencoba menemukan buku baru. Anak-anak mencari buku baru untuk dibaca dan penulis mencari penerbit. Ini adalah suasana yang sangat energik dan bebas, sejak ini, kita tidak berhubungan lagi dengan orang asing. " ujarnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline