Lihat ke Halaman Asli

Aluzar Azhar

Penyuluh Agama Honorer

Radikalisme dan Sempalan

Diperbarui: 26 April 2017   05:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Wacana dan aksi radikalisme mewabah, terlebih ketika ‘panci’ meledak di Taman Pandawa, Kelurahan Arjuna, Kota Bandung; hampir menggagalkan kunjungan kenegaraan Raja Salman dari Arab Saudi dan Michael Essien bergabung dengan Persib.

Residu bom panci itu membekas di benak warga Kota Bandung, bahkan menjadi vektor syak-wasangka ke wilayah Indonesia lainnya jika dikaitkan dengan ajang pilkada serentak sejak 2015 dan kompak ngeri apabila agama dikaitkan dengan politik.

BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) dan Kemenag RI telah wara-wiri mengantisipasi radikalisme beserta derivasinya. Adapun penulis melakukan studi literer secara sekilas. Diperoleh hipotesis bahwa radikalisme itu kategori ‘wacana’, sedangkan sempalan kategori ‘aksi’. Peristiwa bom panci merupakan sempalan dari radikalisme alias pemahaman melahirkan aksi teror.

Pertanyaan asasi muncul, apa radikalisme? Tulisan ini bermaksud menjawab secara denotatif. Semoga tulisan ini tidak menambah fobia, setelah kita diserang teror bom, tuan hoax, dan harga céngék (cabe rawit).

Level Apresiasi

‘Radikalisme’: paham atau aliran yang radikal dalam politik; paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis; sikap ekstrem dalam aliran politik. ‘Sempalan’: penggalan (misal tentang penyiaran dsb suatu peristiwa); pecahan (tentang suatu organisasi dsb) (KBBI). Etimologi radikalisme: radix (Inggris: akar, bilangan dasar).

‘Apresiasi’ mempunyai lima tingkat: (l) penikmatan, (2) penghargaan, (3) pemahaman, (4) penghayatan, dan (5) implikasi (P. Suparman Natawidjaja, 1982). Untuk semua level ini, ‘radikalisme’ tidak salah untuk dikonsumsi secara pribadi dan untuk kerja ilmiah, hatta konservatisme, formalisme, fundamentalisme, ekstremisme, liberalisme, komunisme, ateisme, atau komodifikasi agama. Karena bagaimana bisa meng-counter serangan isme kalau tidak belajar isme tersebut?

Ketika isme/doktrin disebarkan ke awam, apalagi terjadi aksi yang menyimpang dari pemahaman isme (‘sempalan’), inilah yang salah dan disebut: heresi/bid’ah, sinkretis, distorsi, ateis/kafir, fanatis/intoleran, teroris, kriminalis/anarkis (koruptor), atau psikopat/yang teralienasi (paedofil).

Berdasarkan konstitusi seperti aktualisasi Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4, misi Pemerintah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka dibentuk BIN, Densus Anti-Teror, atau BNPT.

Satu dari tiga tugas BNPT adalah melaksanakan kebijakan di bidang penanggulangan terorisme dengan membentuk satuan-satuan tugas yang terdiri dari unsur-unsur instansi pemerintah terkait sesuai dengan tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing. Bidang penanggulangan terorisme meliputi pencegahan, perlindungan, deradikalisasi, penindakan, dan penyiapan kesiapsiagaan nasional.

Buku Deradikalisasi Pemahaman al-Quran dan Hadis (2008) karya Nasaruddin Umar, pernah menjabat Wamenag RI dan menjadi Imam Besar Masjid Istiqlal kini, representatif diajukan. Buku ini mengajak kita untuk memahami teks al-Quran dan al-Sunnah dengan metodologi tafsir yang komprehensif. Misal mempertimbangkan aspek sebab turunnya ayat al-Quran dan Hadis tentang ‘jihad’, sehingga identifikasi ayat tidak tekstual, rigid, dan implikasinya tidak melahirkan perilaku anarkis, intoleran, dan cenderung destruktif.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline