Lihat ke Halaman Asli

Kang Mizan

Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I. email: kangmizan53@gmail.com

US Lottery Green Cards, Perlu Kah Kita Hadirkan "Door Prizes" Penyeimbang Pileg DPR/DPD?

Diperbarui: 7 November 2022   21:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto Credit: Pixabay Free Images

Mungkin masih ingat bahwa Pemilihan Umum (Pemilu) di Era Orde Baru menjamin semua golongan untuk memiliki kursi di MPR. Selain yang dipilih ada utusan golongan yang diangkat, yang mencakup golongan purnawirawan, pensiunan, teknokrat, masyarakat adat, dan utusan daerah.  
Namun sayangnya, siapa saja yang akan mewakili setiap golongan itu perlu mendapat "restu" dari Pak Harto. Kedaulatan rakyat melenceng menjadi kedaulatan restu. 

Serupa tapi tak sam. Sekarang, di Era Reformasi, mungkin sejak Pemilu 2009, anggota legislatif nasional terdiri dari dua golongan yaitu Utusan Daerah dan anggota DPR. Anggota DPR merupakan wakil dari partai politik sedangkan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mewakili masing-masing daerah pemilihan. Mereka semua dipilih langsung oleh rakyat sesuai amandemen UUD 1945.

Sejak beberapa Pemilu terdahulu, publik merasakan cacat konstitusional yang timbul dan menjadi pelik yang bersumber dari kenyataan pemilih akar rumput kita, dalam porsi yang besar,dikatakan sebagai  "pemilih norak. " Pemilih norak ini sangat sulit, jika bisa, diajak berkomunikasi tentang objektivitas Pemilu. 

Selain itu, komunikasi dengan pemilih norak ini sangat sulit juga, jika bisa, dilakukan secara tidak langsung seperti via tv, media online, internet, youtube, dan lain sebagainya. Dengan demikian, komunikasi yang dilakukan lebih berpola komunikasi door to door dengan menggunakan tim sukses (timses) yang banyak sekali.

Menurut beberapa sumber, ada yang mengatakan bahwa porsi mereka itu sekitar 90 persen dari keseluruhan jumlah pemilih. Angka ini antara lain penulis dengar dalam suatu Webinar beberapa waktu yang lalu.

Kondisi seperti itu bermuara pada biaya komunikasi sangat-sangat mahal. Estimasi nya beragam dan menurut Alm. Tjahjo Kumolo uang yang harus dihabiskan oleh seorang Caleg untuk berhasil mendapatkan kursi DPR bisa mencapai Rp46 miliar. Jarang yang tidak setuju bahwa biaya itu adalah super mahal dan tidak masuk akal jika diperhitungkan dengan penghasilan anggota dewan.

Jelas dan tidak mengejutkan bahwa hanya orang, atau, cukong, yang memiliki miliaran rupiah yang dapat menjadi anggota dewan, secara umum. Dalam perspektif lain, dan, analogi dengan Cukong kedaulatan rakyat Prof Mahfud MD, hanya orang yang diuangi oleh para cukong itu yang bisa duduk di kursi DPR/DPD, sekali lagi secara umum.

Iklim yang tidak kondusif seperti itu bermuara pada banyak anggota dewan terpilih tidak memiliki kapasitas dan integritas apa lagi memiliki sense of nationalism dan sense of heroism. Mereka tidak pekah atas kondisi sosial ekonomi Indonesia yang sangat terpuruk saat ini. Mind set mereka tidak pada platforms untuk memakmurkan dan menghebatkan bangsa ini. 

Sebaliknya, mereka lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan/atau kepentingan para cukong itu. Mereka itu juga seperti kita juga dan adalah manusiawi jika mereka juga berpikir untuk mencari upaya pengembalian modal dan mencari modal baru untuk Pemilu yang akan datang.

Lingkungan seperti ini perlu dirombak total agar Indonesia bisa kembali bergerak di jalan yang benar menuju Indonesia makmur dan Indonesia hebat. Perombakan itu dimungkinkan jika komposisi anngota legislatif nasional ditambah dengan anggota-anggota yang mewakili semua golongan. Ditambah dengan anggota-anggota yang memiliki integritas dan kapsitas yang tinggi serta bebas dari pengaruh para cukong. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline