Lihat ke Halaman Asli

Devi Nur

Jangan bosan menulis, membaca dan mendengarkan.

Mama Tidak Marah?

Diperbarui: 27 September 2020   15:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Setiap kelas sudah riuh ketika bel pulang berbunyi nyaring di sudut kelas bagian atas. Ada yang buru-buru memasukkan kertas ulangan ke dalam tas, tidak peduli akan jadi lecek atau justru sudah tidak berwujud. Ada yang meninggalkan kertas ulangannya begitu saja di laci karena nilai tidak sesuai ekspektasi. Kemudian keluar kelas seperti tidak terjadi apa-apa hari ini. Aku? Aku masih ragu-ragu antara membawanya pulang atau meninggalkannya di laci seperti temanku tadi.

Kutengok Zico, wajahnya sudah mulai merah ketakutan. Pasti sudah membayangkan bagaimana reaksi Tante Irma ketika melihat nilai ulangannya. Dengan tarikan napas yang panjang dan hembusan perlahan, Zico memasukkan kertas ulangan ke dalam tas. Kemudian melangkah keluar kelas dengan pasti. Aku perlahan melipat kertas ulangan dan memasukkannya ke dalam tas kemudian keluar kelas. Udara di luar cukup segar karena hujan baru saja berhenti sepuluh menit yang lalu.

Sampai di pintu masuk perumahan aku berhenti sejenak, kemudian mengayuh sepeda lagi. Tiba-tiba terdengar sesuatu, seseorang perempuan yang marah-marah. Aku semakin penasaran dan ternyata Tante Irma kecewa dengan Zico.

"Kamu belajar nggak sih. Sudah Mama masukkan di bimbel terkenal, belajar siang malam masih aja nilainya segini. Kamu nggak lihat si Melati? Dia setiap ulangan nilainya selalu bagus apalagi Matematika. Mama nggak mau tahu, kamu harus dapat nilai bagus kalau ada ulangan lagi. Kalau nggak, uang jajan akan Mama kurangi atau mungkin nggak dapat sama sekali. Hari ini ada les Matematika, jangan lupa."

Tante Irma masuk rumah dengan hati yang kesal. Zico tanpa sengaja melihat ke arahku dengan wajah yang sedih, berkeringat dan terasa panas. Mungkin juga kakinya sudah berat masuk rumah atau mungkin neraka dunia baginya itu rumah. Zico merupakan anak yang penurut pada Mamanya, tidak pernah membantah atau memang tidak diberi cukup waktu untuk berpendapat. Apa yang dikatakan Mamanya selalu dilakukannya, termasuk urusan bimbel.

Satu minggu sebelum ulangan Zico mengajakku pergi ke kedai es krim milik Bang Faisal. Zico membelikanku es krim vanila karena dia suka, sedangkan aku sukanya cokelat. Ternyata ada curhat yang ingin dituangkannya kepadaku. Terlihat dari wajahnya yang begitu murung dan tidak bersemangat memasukkan sesendok es krim ke dalam mulut. Sebelum bercerita, Zico menarik napas panjang kemudian menghembuskan perlahan. Katanya dengan melakukan seperti perasaan menjadi lebih tenang. Zico juga sering melakukannya sebelum menghadap Mamanya.

Ternyata Zico tidak suka masuk bimbel yang sekarang ini. Sangat tertekan, hampir setiap kali pertemuan selalu diberi setumpuk soal Matematika dan harus dikumpulkan di pertemuan berikutnya. Belum lagi harus mengerjakan minimal 10 soal ketika di kelas dalam waktu yang cukup singkat. Zico juga tidak ada teman dalam kelasnya, itu artinya Mamanya memilih paket private.

Tidak ada rasa nyaman yang menyelimuti Zico meskipun fasilitas yang diberikan cukup lengkap, termasuk Wi-Fi gratis. Keinginan Zico adalah les seni entah itu melukis, menggambar, desain ataupun musik, bukan Matematika. Menurutnya, bimbel Matematika adalah sebuah alat untuk membunuh hobi dan mimpinya. Zico juga menjelaskan bahwa satu bulan lalu pensil gambar dan cat warna miliknya di sita Mama. Hal itu yang membuat Zico memilih menggambar di kelas dan meninggalkan hasilnya di laci. Aku pernah melihatnya dan itu sangat bagus sekali.

Ingatan itu membuatku bergegas menuju rumah dan menyiapkan diri untuk mendapatkan apa yang didapatkan Zico barusan. Aku tidak boleh lemah, aku tidak boleh terlihat lemah.

Mama menyambutku dengan senyuman ketika meletakkan sayur diatas meja makan. Kakiku melangkah menuju kamar, mengganti pakaian, mencuci tangan dan kaki kemudian makan siang. Tidak lupa kertas ulangan kubawa serta. Ini lebih baik daripada Mama tahu sendiri dari kamarku. Aku duduk berhadapan dengan Mama yang hari ini terlihat cerah dan bahagia. Apa aku harus merusak bahagia Mama dengan nilai ulangan hari ini? Apa besok saja? Tidak, tetap harus hari ini.

"Ulangannya bagaimana, Mas?"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline