Aku mengangkat kepala, terkejut. Perlahan mengeluarkan kertas ulangan dari saku yang sudah kulipat menjadi lebih kecil. Perlahan dengan gemetar, kuserahkan pada Mama. Wajahku tersembunyi dalam, tidak ingin melihat wajah marah Mama.
"Mas?" panggil Mama perlahan dan wajahku masih tersembunyi, tidak berani kutunjukkan pada dunia yang setiap harinya semakin kejam.
"Mas, lihat Mama," lanjut Mama perlahan. Suara Mama memang lembut apalagi ketika memberi saran pada anaknya.
Baiklah, aku memberanikan diri menunjukkan wajah takutku pada Mama.
"Mas El pasti mengira Mama akan seperti Tante Irma?"
Aku mengangguk perlahan. Eh, tunggu, darimana Mama tahu?
"Mama tadi juga dengar Tante Irma marah sama Zico. Tapi, ini Mama, Mas. Bukan Tante Irma."
"Maafin Mas El, Ma."
"Buat apa minta maaf, Mas El enggak salah kok. Mas El sudah berusaha keras belajar siang malam, ngerjain soal-soal. Mama juga tahu kalo Mas El belajar sampai larut malam, tidur di meja belajar. Mama tahu semua perjuangan Mas El. Apa Mas El berpikir Mama nanti marah-marah gitu? Iya?"
Aku mengangguk perlahan.
"Mas El. Mas? Coba lihat Mama."