Lihat ke Halaman Asli

Ali Mufid

Writer || Egaliter

Koalisi Serasi Hingga Dayung Kayu

Diperbarui: 21 Oktober 2021   02:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Travel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jcomp

Narasi ini sebatas interpretasi minimalis Lago di Braies. Berbentuk tata ruang naturalism, dominasi dasar warna hijau, biru, putih, cokelat serta sarat estetis. 

Framing tak cukup mencakup cantiknya. Jernih air dan barisan sekoci bersandar di dermaga nuansa kayu tua, menyeru indera kita berwisata alam yang sejuk tanpa polusi tanpa klakson kendaraan tanpa lampu merah di perempatan jalan, tanpa rambu jalan "dilarang mendahului", tentu juga tanpa hujan interupsi. 

Bagaimana sampai hati untuk interupsi jika keindahannya paripiurna? Tak perlu menguras energi untuk berdebat dari sudut pandang mana nilai indahnya didapat. Lago di Braies sebuah rumah singgah saat kita lelah karena mimpi banyak yang patah.

Danau ini berlindung pada tebing tinggi. Keduanya tak saling berebut peran tentang siapa pelindung siapa pula yang dilindungi. Diplomasi apik dalam rangka melegitimasi sumber kekuatan diantara keduanya. Tak berebut kursi, tak pula iri dengki atas potensi yang Tuhan beri. 

Diantara bentuk lekuknya adalah tanda kedaulatan atas dirinya. Memiliki magis sebagai lokasi selaras dengan keheningan serta mendamaikan bagi ruang imaji manusia. Diatas permukaan air dihiasi kabut tipis terbentang luas. Sementara diatas tebing tinggi tergores lukisan awan putih. Koalisi terbaik tanpa saling mencuri perhatian mana yang aksinya paling elegan.

Dayung sekoci sebagai tanda boleh dialog ditengah danau hingga mendekat tebing diujung danau. Tak perlu cemas jika mengidap Aquaphobia, sekoci gemuk ini telah lulus standar. Ia memiliki cadangan daya apung agar terhindar dari tenggelam meski posisinya terbalik. 

Pun dengan bangku melintang pada posisi lebih rendah dalam sekoci. Meski bukan profesional atlit, kini dayung harus dikayuh bersama teknik ala kadarnya lalu bergeser tak beraturan ke tengah kemudian tertawa secara ilmiah.

Belum usai sesi dialog, Lago di Braies diguyur hujan. Oh, ternyata semesta tengah interupsi supaya tawa kita terhenti. Barangkali tawa kelewat batas bisa menghasilkan produk hukum multitafsir. Kembali dayung dikayuh masih dengan pola tak beraturan mendekati dermaga minimalis bernuansa kayu tua. 

Bedanya kali ini lebih cepat mengayuh tak banyak kompromi sudut sekoci mana yang menyentuh dermaga terlebih dulu. Sekali mendayung, dua tiga sekoci saling berbenturan. Terselip satu momen dayung nyaris menghantam muka pria paruh baya yang tengah susah payah menyandarkan sekocinya.

Disela-sela hujan, berteduh di caf tak jauh dari lokasi danau untuk menghangatkan badan. Duduk manis lalu pesan indomie goreng telor, jahe susu, tempe goreng, sambel cabe hijau dan es teh manis. Khayalnya begitu, realitanya tak begitu. Cukup isi perut dengan pizza dan caffe macchiato. Lumayan redam rasa dingin. Sebelum dingin kembali menyapa di puncak Passo Paradiso.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline