Lihat ke Halaman Asli

Alfred Benediktus

TERVERIFIKASI

Menjangkau Sesama dengan Buku

Mengapa Kegagalan Timnas Indonesia Lolos ke Piala Dunia 2026 Begitu Menyedihkan?

Diperbarui: 12 Oktober 2025   11:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Timnas Indonesia gagal ke Piala Dunia, 2026. Sumber: blog.amikom)

Mengapa Kegagalan Timnas Indonesia Lolos ke Piala Dunia 2026 Begitu Menyedihkan?

Di tengah gemuruh sorak-sorai yang membahana di seluruh penjuru negeri, ketika para pemain muda dari Timnas Indonesia U-23 meraih medali perunggu di SEA Games 2021, dan peringkat FIFA terus melonjak dari posisi 173 menjadi 127 pada akhir 2024, seolah-olah sebuah mimpi besar mulai mengambang. Bukan hanya mimpi untuk menang, tapi mimpi untuk berdiri setara dengan negara-negara besar Asia. Mimpi bahwa sepak bola Indonesia tidak lagi dipandang sebagai anak kecil yang bermain-main, tetapi sebagai bangsa yang punya kedewasaan, disiplin, dan ambisi.

Namun, ketika pertandingan kualifikasi Piala Dunia 2026 berakhir dengan kekalahan dari IRAK 1-0, dan semua harapan untuk lolos ke putaran final sirna, bukan sekadar kekecewaan yang menyelimuti. Yang terjadi adalah krisis hati, sebuah luka dalam jiwa publik yang tak bisa disembuhkan dengan sekadar kata-kata. Bukan karena tim gagal, itu sudah biasa. Tapi karena mereka gagal meskipun telah berjuang keras, berubah secara taktis, dan menunjukkan kemajuan nyata. Meskipun materi pemainnya terlihat menjanjikan, dengan nama-nama seperti Marselino Ferdinan, Elkan Baggott, dan Pratama Arhan yang kini bermain di level Eropa, kegagalan ini terasa lebih pahit karena terasa tidak adil.

Ini bukan sekadar kegagalan teknis atau strategi yang salah. Ini adalah kegagalan sistem, kegagalan manajemen, kegagalan komunikasi, dan kegagalan kepercayaan. Dan yang paling menyakitkan, ini adalah kegagalan yang datang dari orang-orang yang seharusnya menjaga mimpi.

Sebelumnya, Shin Tae-yong sempat datang sebagai penyelamat. Ia bukan pelatih biasa. Ia adalah seorang pelatih yang membawa revolusi mental. Di bawah arahannya, Timnas Indonesia tidak hanya bermain lebih tegas, lebih disiplin, dan lebih berani, tetapi juga mulai membangun identitas baru: tim yang tidak takut bermain di luar negeri, tim yang tidak takut bertarung melawan tim kuat, tim yang belajar bermain dengan gaya modern. Ia membawa kita ke babak 16 besar Piala Asia 2023, pencapaian yang belum pernah diraih sebelumnya sejak 1938. Ia membawa kita ke putaran ketiga kualifikasi Piala Dunia 2026, langkah yang bahkan dulu dianggap mustahil.

Tapi begitu dia gagal mencapai target utama (lolos langsung dari putaran ketiga zona Asia ke Piala Dunia tanpa lewat putaran keempat) tanpa ada upaya untuk memahami kenapa ia gagal, tanpa evaluasi mendalam tentang sistem yang rapuh, tanpa memberinya ruang untuk memperbaiki kesalahan, dia langsung dipecat. Dengan satu keputusan instan, PSSI menghancurkan apa yang telah dibangun selama lima tahun. Mereka memilih untuk menyalahkan orang, bukan sistem. Mereka memilih untuk menghancurkan jalan, bukan memperbaikinya.

Dan di sinilah letak krisis psikologis yang sebenarnya. Banyak penggemar yang merasa dikhianati. Mereka merasa bahwa usaha mereka, kerja keras mereka, dukungan mereka, semuanya sia-sia. Mereka merasa bahwa mereka telah berjuang, berdoa, berkorban demi tim yang akhirnya ditendang keluar oleh sistem yang tidak peduli. Ini bukan sekadar kegagalan tim, ini adalah kerusakan terhadap keyakinan.

Publik yang dulu percaya bahwa PSSI ingin maju, sekarang merasa bahwa mereka hanya ingin menjual citra. Mereka ingin hasil instan, namun tidak mau berinvestasi dalam proses. Mereka ingin seorang legenda seperti Patrick Kluivert, yang bahkan belum pernah menjadi pelatih kepala tim nasional dengan rekam jejak stabil, untuk menyelesaikan masalah yang sebenarnya sangat kompleks. Ini seperti meminta seorang dokter yang baru lulus untuk menyembuhkan penyakit kronis tanpa alat, tanpa data, tanpa waktu.

Dalam dunia psikologi, fenomena ini dikenal sebagai "cognitive dissonance", konflik antara keyakinan dan realitas. Publik percaya bahwa Indonesia sudah siap. Mereka percaya bahwa dengan pelatih yang tepat, dengan pemain yang berkualitas, kita pasti bisa lolos. Tapi kenyataannya, kita gagal. Dan ketika realitas ini terus-menerus diulang, rasa percaya terhadap sistem mulai runtuh.

Sebuah gambaran tentang betapa dalamnya krisis ini adalah saat anak-anak yang dulu bermimpi menjadi pemain Timnas kini mulai ragu. Mereka bertanya-tanya:
"Kalau kita berlatih keras, bermain bagus, tapi tetap kalah... apakah ada artinya?"
"Apakah kita benar-benar layak dipandang serius?"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline