Lihat ke Halaman Asli

Alfred Benediktus

TERVERIFIKASI

Menjangkau Sesama dengan Buku

Minyak, Mimpi, dan Sepak Bola: Bisakah Liga Arab Menyaingi Eropa atau Hanya jadi Tempat Pensiun Mewah?

Diperbarui: 28 September 2025   16:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(sumber: startingeleven)

Minyak, Mimpi, dan Sepak Bola: Bisakah Liga Arab Menyaingi Eropa atau Hanya Jadi Tempat Pensiun Mewah?

Karena kecewa dengan Madrid yang kalah 2:5 dari tim sekota Atletico Madrid, saya mengalihkan perhatian ke dunia Arab yang sepak bolanya terus menggebrak dunia. Kini bukan lagi liga antah berantah, tetapi liga yang mulai disorot dan disiarkan langsung karena di sana mulai berdatangan pemain-pemain dunia dari berbagai negara.

Pernahkah kita membayangkan bahwa pada sebuah malam di Riyadh, stadion King Fahd yang megah bergetar. Ribuan suara menyebut nama Cristiano Ronaldo. Sorot lampu menyorot nomor 7 yang berlari kencang, mengecoh bek lawan, lalu melepaskan tendangan keras ke sudut gawang. Gol! Sorak-sorai meledak bukan hanya di tribun, tapi juga di jutaan layar ponsel di seluruh dunia. Ini bukan Manchester, Madrid, atau Milan. Ini Arab Saudi. Dan ini bukan lagi liga yang bisa diabaikan.

Sejak Ronaldo mendarat di Al Nassr pada Desember 2022, dunia sepak bola mengalami gempa tektonik. Dalam hitungan bulan, Neymar, Benzema, Man, Fabinho, Joao Concelo, dan puluhan bintang Eropa lainnya menyusul belakangan ini. Mereka datang bukan karena hasrat kompetitif semata, tapi karena tawaran yang mustahil ditolak: gaji ratusan juta euro, fasilitas mewah, dan kehidupan bebas pajak di tengah gurun pasir yang kini berubah jadi taman hiburan global.

Liga Arab vs Liga Eropa: Dua Dunia yang Berbeda

Jika Liga Inggris adalah mesin kecepatan penuh dengan rivalitas sengit, Liga Spanyol rumah bagi seni dan strategi, serta Liga Italia laboratorium taktik, maka Liga Arab, khususnya Saudi Pro League (SPL), adalah eksperimen ambisius yang menggabungkan uang negara, soft power, dan mimpi geopolitik.

Di Eropa, klub hidup dari tiket, hak siar, sponsor, dan penjualan pemain. Di Arab Saudi, klub-klub besar seperti Al Hilal, Al Nassr, dan Al Ittihad dimiliki oleh Public Investment Fund (PIF), dana kekayaan negara yang dikendalikan langsung oleh Putra Mahkota Mohammed bin Salman. Artinya, keberlangsungan mereka tidak bergantung pada profit, melainkan pada agenda nasional: Vision 2030.

Liga Eropa dibangun selama puluhan, bahkan ratusan tahun. Liga Arab dibangun dalam hitungan bulan dengan uang, bukan akar sejarah. Di Eropa, pemain muda naik dari akademi lokal. Di Arab, pemain muda asing dibeli mahal dari Eropa atau Amerika Latin, sementara talenta lokal masih berjuang untuk menembus tim utama.

Namun, perbedaan terbesar terletak pada jiwa kompetisi. Di Eropa, setiap pertandingan adalah perang antara kota, kelas sosial, ideologi. Di Arab, rivalitas masih dalam proses dibangun. Belum ada "El Clsico" Arab yang menyatukan jutaan hati dalam kebencian yang penuh gairah. Belum ada derbi yang membuat jantung berdebar seperti Manchester United vs Liverpool.

Apakah Ini Akan Bertahan Lama?

Pertanyaan ini menghantui setiap analis, jurnalis, dan penggemar sepak bola global. Jawabannya tidak sederhana karena ini bukan sekadar soal sepak bola, tapi soal masa depan Arab Saudi.

Ada tiga skenario yang mungkin terjadi:

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline