Perjamuan Terakhir: Dari Meja Kasih ke Meja Digital
Di bawah lampu temaram ruang makan, Yesus duduk bersama murid-murid-Nya. Bukan sekadar roti dan anggur yang dibagi, melainkan hati yang terbuka untuk menerima TUBUH dan DARAHNYA, menerima KASIH yang rela berkurban.
Di sana, di antara aroma roti yang baru dipanggang dan denting cawan yang disentuh bibir, Yesus membasuh kaki mereka: tindakan yang merendahkan ego, yang mengguncang hati. Perjamuan Terakhir itu bukan hanya tentang makan bersama, tetapi tentang kebersamaan yang suci, tentang hadir sepenuhnya bagi satu sama lain.
Namun, di sudut waktu kita kini, meja makan keluarga mulai kehilangan nyanyiannya. Cahaya lilin diganti layar ponsel, dan percakapan hangat tenggelam dalam deru notifikasi. Apa yang tersisa dari perjamuan kebersamaan itu?
Pada momen Kamis Putih ini, saya mengajak kita untuk melihat Perjamuan Terakhir bukan hanya sebagai peristiwa suci dua ribu tahun silam, tetapi sebagai cermin bagi kita: apakah kita masih mampu duduk bersama, menatap mata satu sama lain, tanpa distraksi dunia yang berkelip di genggaman?
Bayangkan Yesus di meja makan kita hari ini. Ia tak lagi membawa jubah sederhana, tetapi tetap dengan tatapan yang menembus jiwa. Ia melihat kita, satu keluarga, duduk mengelilingi meja. Namun, alih-alih roti yang dipecah bersama, jari-jari kita sibuk menggulir layar. Anak-anak tenggelam dalam dunia game, orang tua larut dalam grup obrolan daring, dan suara tawa yang dulu menggema kini diganti ketukan jari di kaca ponsel. Yesus, dengan lembut, mengambil baskom dan handuk. Ia membasuh kaki kita: bukan karena kaki kita berdebu, tetapi karena hati kita telah lupa arti hadir. "Mengapa kalian begitu dekat, namun begitu jauh?" tanyaNya dalam suara yang begitu lembut bagai angin senja.
Perjamuan keluarga, yang dulu adalah ritus suci tempat cerita dibagi dan luka disembuhkan, kini bergeser. Meja makan tak lagi pusat kebersamaan, melainkan panggung individu yang sibuk dengan dunianya sendiri.
Gadget, yang diciptakan untuk mendekatkan, justru membangun tembok tak kasat mata. Kita makan bersama, tetapi hati kita tercerai-berai. Roti yang kita suap tak lagi terasa sebagai lambang kasih, melainkan sekadar pengisi perut. Kita lupa bahwa perjamuan sejati bukan soal apa yang kita makan, tetapi dengan siapa kita berbagi dan bagaimana kita hadir.
Yesus membasuh kaki murid-murid-Nya untuk mengajarkan bahwa kasih adalah pelayanan, bahwa kebersamaan adalah kerendahan hati. Ia tak meminta mereka untuk sekadar duduk dan makan, tetapi untuk saling melayani, saling mendengar, saling mengasihi. Bukankah ini yang kini merindukan kehadiran di meja makan kita?
Sebuah undangan untuk meletakkan ponsel, mematikan notifikasi, dan kembali menatap mata mereka yang kita kasihi. Untuk bertanya, "Apa kabar hatimu hari ini?" dan mendengar jawabannya dengan penuh perhatian. Untuk memecahkan roti, bukan hanya sebagai makanan, tetapi sebagai lambang ikatan yang tak tergoyahkan.
Di tengah dunia yang berlari kencang menuju digital, mari kita pulang ke meja perjamuan. Bukan meja megah dengan hidangan mewah, tetapi meja sederhana tempat hati bertemu. Seperti Yesus yang rela membungkuk untuk membasuh kaki, marilah kita merendahkan ego kita, mengesampingkan dunia dalam genggaman, dan memilih hadir sepenuhnya.