Lihat ke Halaman Asli

Fakta di Balik Opini Teddy Gusnaidi

Diperbarui: 14 September 2018   11:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hasil pencarian nama Teddy Gusnaidi di mesin pencarian Google.

Ketika membaca twit Teddy Gusnaidi "seluruh politikus Demokrat dijadikan satu, gak ada setengahnya ilmu gue," saya langsung kaget. Sontak dalam kepala saya bertanya siapa dia?

Jujur sejauh ini saya tidak pernah mendengar namanya di daftar politisi kelas wahid di Indonesia. Iseng, saya mencoba menelusuri namanya di laman google. Eh, yang keluar nama Gusnaldi, tukang make up artis (hehehe.. cari aja di Wikipedia).

Namun, keingin tahuan saya untuk mengetahui siapa sosok yang berani menantang ilmu politisi senior Demokrat terus menggebu. Saya dalam keyakinan awal berpikir, pasti ini besar atau akademisi yang disegani.

Tapi, nama Teddy Gusnaidi yang keluar di laman google hanya tahun 2015, saat PilGub DKI dan menjelang Pemilu 2019. Tahun 2015 Teddy merupakan pengurus Partai Bulan Bintang (PBB). Namun pemberitaan tentang dirinya tidak terlalu banyak. Di Pilgub DKI Teddy mulai serang sana sini dan 2018 Teddy berseragam PKPI dan mulai intens menyerang Partai Demokrat.

Disini saya mulai ragu. Saya berpikir, jangan-jangan Saudara Teddy ini penjual buah musiman. Saya coba cek platform media sosial jejaring miliknya. Pengikutnya cuma 30 ribuan. Masih kalah banyak dengan bacaleg DPRD Kabupaten dikampung saya.

Dengan popularitas yang rendah serta bahasa orang yang tidak terdidik tersebut, apa alasan politisi PKPI ini bermulut comberan?

Dalam analisa saya setidaknya terdapat dua alasan. Alasan pertama adalah Teddy Gusnaidi seorang fakir follower. Serangan dan tudingan yang dilakukan Teddy semata-mata untuk mendapatkan perhatian dan dengan sendirinya menambah followernya.

Sebagai Dewan Pakar PKPI yang levelnya nasional, tentu sangat memalukan bagi Teddy hanya memiliki follower 30 ribu. Kalah jauh dengan janda cantik kader PSI Tsamara Amany yang hanya sekelas Ketua DPP. Untuk membeli follower pun Teddy harus menunggu pembayaran royalty dari novel karangannya yang tidak laku-laku.

Dengan menjadikan SBY dan Demokrat sebagai serangannya, Teddy berharap akan mendapatkan dukungan dari netizen pendukung Jokowi. Tapi kenyataannya retweet dan komentar dari cuitan comberannya hanya berkisar 10-an. Terlalu beresiko bagi pendukung Jokowi untuk mendukung statement murahan Teddy. Lagian partai yang dibawanya ke Jokowi tidak terlalu berpengaruh signifikan kehadirannya.

Seperti diketahui, saban mengikuti pemilu PKPI hanya memperoleh 1 persen suara pemilih. Saban tahunnya juga PKPI menggoyang KPU agar partainya bisa lolos sebagai peserta pemilu. Nasib tragis.

Alasan kedua adalah karena Teddy terlalu merasa kepedean dengan nama besar "profesor intelijen dunia" AM Hendropriyono di belakang nama PKPI. Teddy merasa punya segalanya. Ia merasa "dibekengi" oleh kekuatan besar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline