Lihat ke Halaman Asli

Faisol

TERVERIFIKASI

Lahir di Jember - Jawa Timur, Anak ke 2 dari enam bersaudara.

Lontong "Olo E Dadi Kotong"

Diperbarui: 19 Mei 2021   22:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: www.bombastis.com

Lontong, siapa yang tidak mengenal sajian makanan ciri khas Nusantara ini, tentunya masyarakat Jawa tidak asing lagi. Lontong sudah populer sejak zaman dahulu kala, bahkan sebelum Cak Lontong lahir, Lontong ini sudah terkenal lebih dahulu, Cak Lontong, hanya nebeng nama saja sebagai nama besarnya.

Lontong sama dengan "Olo e Dadi Kotong", apa makna secara filosofis dari lontong tersebut, tidak lain adalah meleburnya dosa dengan hikmat menjalankan puasa, yang pada akhirnya menjadi Fitri dengan meraih kemenangan.

Sementara dalam adat Jawa, Lontong memiliki makna filosofi "olo e dadi kotong" atau dalam bahasa Indonesianya, kejelekannya sudah tidak ada atau hilang.

Makanan ciri khas Nusantara ini, sangat mudah di dapatkan dan tidak sulit dalam proses pembuatannya. Lontong yang senyawa dengan ketupat, memiliki tekstur yang lembut, dan penyajiannya berbeda bungkus dengan kupat. 

Lontong yang dibuat atau di bungkus dengan daun pisang, sementara kupat di bungkus dengan anyaman janur kuning. Walaupu. Kupat dan lontong senyawa, namun teksturnya lebih lembut lontong, sehingga lontong ini bisa menjadi menu sajian yang beraneka ragam.

Makanan yang bisa dibuat sajian dengan menu lontong pasca lebaran ke 8 di bulan Syawal, ada rujak lontong, bakso lontong, lontong opor ayam, lontong campur mie ayam, dan masih banyak lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Tradisi membuat makanan Lontong ini, sudah ada sejak zaman wali Songo, terutama yang mempopulerkan makanan tersebut adalah sunan Kalijogo atau Raden Said yang lahir 1450 dan meninggal 1513 Mesehi.  Putra dari Adipati Tuban, yang berdakwah dengan pendekatan budaya lokal.

"Olo E Dadi Kotong" yang bermakna "kejelekannya sudah hilang", disinilah kemudian bahwa hari raya idul Fitri 1442 Hijriyah yang merupakan momen saling memaafkan untuk menghapus kesalahan dan kekhilafan antar ummat manusia, merupakan suatu ajaran Islam dengan pendekatan budaya lokal, tanpa harus menemui kekerasan.

Mungkin saja secara tersurat ajaran tersebut tidak si jumpai di Al Qur'an, namun secara tersirat, ajaran tersebut merupakan penafsiran dari Al Qur'an sendiri untuk berbuat dan berlomba-lomba dalam kebaikan, baik secara transedental maupaun secara horizontal.

Kembali lagi pada lontong, sebagai salah satu ciri khas makanan masyarakat Nusantara, sesungguhnya tidak hanya di sajikan saat lebaran hari raya idul Fitri ataupun hari raya kupat, tetapi Lontong ini bisa kita jumpai setiap hari di warung-warung bakso, rujak, dan warung makanan lainnya, sebagai pengganti dari pada nasi.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline