Lihat ke Halaman Asli

Aisah Latif Mawarni

Mahasiswa Akuntansi Universitas Negeri Yogyakarta

Bertentangan dengan Ajaran Islam: Presiden Erdogan Menolak Tegas Wacana Peningkatan Suku Bunga

Diperbarui: 20 Juni 2022   23:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Turki, siapa yang tidak mengenal negara ini? Negara yang penuh akan sejarah islam, dengan 99,8 % mayoritas penduduknya merupakan pemeluk agama islam, tak terkecuali president Recep Tayyip Erdoğan, yang juga beragama islam. Bukan hanya itu, negara yang terletak di benua Eropa dan Asia ini, juga memiliki pesona yang menarik negara tetangganya, khususnya masyarakat Indonesia. 

Mulai dari Blue Mosque, Galata Bridge, Cappadocia, Istiklal Street dan berbagai tempat-tempat populer lainnya yang selalu jadi list tempat yang akan dikunjungi wisatawan saat main ke Turki. 

abdhh4rbx5mvgv2mambnl39zejyxi1wvgu1yi7nf-62b09890bb448616be6b12d2.jpeg

Tapi, terlepas dari keindahan dan pesona yang dimilikinya, kabarnya Turki sedang tidak baik-baik saja, akibat adanya inflasi besar-besaran yang mencapai 73% dimana menjadi tingkat inflasi tertinggi dalam 24 tahun terakhir. Inflasi yang terjadi ini, tidak lain merupakan dampak tekanan ekonomi secara global yang dirasakan setelah Rusia resmi menyatakan perang terhadap Ukraina pada (24/02/2022)

Lonjakan inflasi ini banyak warga Turki yang mengalami ketakutan eksistensial yang memang tengah dirasakannya saat ini, yang disebabkan oleh adanya kenaikan harga makanan, dan barang-barang kebutuhan lainnya yang mencapai 91,6% pada bulan Mei 2022. 

Bukan hanya itu, dan yang lebih parahnya, ketergantungan impor yang dialami Turki ini, membuatnya semakin merasakan gejolak dengan kenaikan harga minyak dan gas di pasaran dunia. Menurut TUIK, biaya transportasi yang mencakup harga gas dan solar juga mengalami kenaikan hingga 224% dibandingkan tahun 2021 yang lalu. 

Tidak hanya inflasi tinggi, negeri dengan julukan Miracle of Europe, dengan kemajuan pesatnya di bidang ekonomi, bisnis dan kebudayaannya pada era 2000an,  kini mengalami kemerosotan nilai mata uang lira. Dari tahun ke tahun, nilai tukar uang lira dibanding US Dollar (USD) telah melemah 52%, yang menjadikan lira sebagai mata uang dengan kinerja terburuk di dunia selama periode tahun 2022.

Dibuktikan, dari yang awalnya USD dihargai setara 17 lira, mulai per-Mei tahun lalu, nilai tukar ini, kini berada di level 8 lira. Sungguh penurunan yang amat kritis. Lain halnya dengan masyarakat indonesia, yang malah memanfaatkan inflasi ini dengan berkunjung ke Turki, karena ikut merosotnya nilai tukar lira pada rupiah, dari yang awalnya Rp 1.600 per lira kini menjadi Rp 850, benar saja berlibur ke turki dibilang makin murah, harga harga di sana pun jadi lebih murah. 

Mengacu pada data yang ada, mengenai output economic dari tahun ke  tahun, Turki telah mengalami penurunan yang yang cukup signifikan sejak tahun 2013. Gross Domestic Product (GDP) Turki ini jauh melesat 376% di periode 2001 hingga 2013 hingga menyentuh 957 miliar USD, namun setelah itu terus merosot setiap tahun menjadi 720 miliar USD pada 2020 lalu.

Kondisi ini sangat menggambarkan, bahwa Turki tengah berada pada ekonomi yang diujung tanduk, sampai-sampai Erdogan sang presiden pun hampir kehilangan akal, melihat risiko-risiko yang semakin dirasakan oleh masyarakatnya. Mengingat negaranya ini yang memiliki ketergantungan cukup besar pada impor minyak, gas dan batubara, membuat situasinya semakin buruk. Sampai-sampai tidak sedikit para kritikus mengatakan bahwasanya, rencana mengucurkan dana US$ 15 miliar itu tidak mencukupi. Produk domestik bruto (GDP) tahunan Turki sendiri yang berjumlah sekitar $ 770 miliar.

5768dba1-e85e-4754-98bf-a391da417399-62b09872bb448612a7026b82.jpeg

Mau tidak mau, nilai tukar lira akan terus menurun, disusul dengan terus menyusut nya keyakinan investor terhadap kebijakan ekonomi negara tersebut. 

Bagaimana tidak? Akibat turunnya nilai lira serta pengurangan investasi asing dan portofolio yang masuk berarti bahwa bank telah dipaksa untuk membelanjakan uang tunai untuk mendanai defisit transaksi berjalan negara yang semakin melebar. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline