Budidaya ikan hias memang menarik banyak orang. Berawal dari hobi, sebagian melihat celah untuk dijadikan usaha. Tapi kenyataannya tidak selalu seindah cerita.
Di balik kisah sukses, ada tumpukan tantangan. Ada juga risiko yang perlu dipahami betul. Banyak yang salah menangkap kisah pembudidaya yang konon panen untung besar.
Mereka mengira budidaya ikan itu jalan pintas. Padahal laba datang dari kerja keras, ditambah pengetahuan dan manajemen risiko yang rapi.
Koi punya corak warna yang memikat. Enak dipandang, nilainya pun tinggi. Laporan pasar Spherical Insights menegaskan hal itu. Pasar koi global diperkirakan terus tumbuh dan bisa mencapai USD 6,98 miliar pada 2033.
Di Indonesia, ekspor ikan hias juga menunjukkan tren yang sangat positif dari tahun ke tahun. Pada semester I 2023 nilainya menyentuh USD 20,5 juta, naik 16,2 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.
Nilai ekspor koi bahkan melonjak hampir lima kali lipat, dari USD 19,2 ribu menjadi USD 94,3 ribu pada akhir 2022. Lonjakan terbesar datang dari negara-negara di Jazirah Arab. Jerman, Italia, dan Swiss juga rutin mengimpor koi.
Angka-angka ini jelas menunjukkan potensi pasar yang besar.
Masalahnya, banyak orang keliru membaca data tadi. Mereka berasumsi jika ekspor naik maka semua pembudidaya pasti untung.
Belum tentu. Keuntungan bisa saja lebih banyak dinikmati eksportir besar, sementara pembudidaya kecil belum tentu ikut merasakan.
Narasi yang beredar kerap terlalu menyederhanakan keadaan. Hanya sisi manisnya yang ditonjolkan. Cerita sukses sosok seperti Suwanto memang menginspirasi karena ia mampu mengubah hobi menjadi bisnis.
Tapi pengalamannya tidak bisa dijadikan patokan untuk semua orang. Bisa jadi ia ditopang faktor lain, misalnya jaringan pasar.