Sebuah tragedi besar kadang lahir dari percikan kecil. Tempatnya di Desa Unra, Kabupaten Bone.
Pemicu awalnya cuma tiga bakul beras. Tanggalnya jelas, 10 September 1943. Seorang petani tua bernama Ibbana didatangi aparat desa yang dipimpin Andi Mannuhung (Kompas, 2023).
Mereka menagih setoran padi paksa untuk logistik perang Jepang. Di atas kertas itu sekadar penagihan.
Nyatanya, kejadian ini membongkar amarah yang sudah lama disimpan. Emosi yang menumpuk di kampung-kampung akhirnya pecah.Ini gambaran kecil tentang perlawanan lokal di berbagai penjuru nusantara.
Kisah tentang Unra sering diringkas begini: Jepang menerapkan politik beras yang kejam, rakyat tertindas lalu melawan.
Alur itu benar, tapi belum seluruhnya. Kalau ditelusuri lebih dalam, ada api lain yang menyala pelan di bawah sekam.
Kajian akademis belakangan menunjukkan hal lain. Kemarahan warga Unra punya beberapa sasaran.
Bukan semata tentara Jepang. Mereka bahkan jarang berhadap-hadapan dengan tentara Jepang.
Yang paling mereka tuju adalah pejabat lokal, para bangsawan atau Arung, yang menjadi perpanjangan tangan kekuasaan (Mahardika & Ramadhan, 2019).
Bayangkan tegangnya suasana hari itu. Andi Mannuhung, seorang kepala distrik, datang bersama rombongannya.
Ia memaksa masuk ke rumah seorang petani miskin, di tengah masa paceklik. Beras yang diserahkan Ibbana dianggap kurang.