Istilah otak yang seolah "membusuk" makin sering berseliweran. Biasanya dipakai sebagai metafora. Untuk menjelaskan merosotnya berpikir kritis dan menipisnya konsentrasi.
Anggapan ini tumbuh karena banyak orang menghabiskan waktu dengan konten yang dangkal. Beberapa penelitian seolah menguatkan kekhawatiran itu.
Ada studi yang menemukan durasi menatap layar berlebihan berdampak buruk pada kesehatan mental. Efeknya merembet ke memori dan bisa meningkatkan risiko penurunan kognitif dini.
Semua lalu dirangkum dengan label "brain rot". Gejala yang kerap dikaitkan antara lain sulit fokus, disorientasi, dan nalar yang terasa menurun. Ini bisa muncul pada berbagai usia. (Manwell, 2021).
Tapi pandangan seperti itu kemungkinan terlalu menyederhanakan. Benarkah internet merusak otak? Tidak.
Yang terjadi lebih mirip proses adaptasi yang wajar (Cecutti, 2021). Laporan di Nature Human Behaviour menyebut teknologi tidak merusak otak, dan kalaupun ada efek negatif, sifatnya sementara.
Perubahannya ada pada cara kita memproses informasi. Kita menyesuaikan diri.
Sejumlah penelitian menyimpulkan teknologi membuat orang enggan menghafal karena jawaban mudah dicari online. Mirip mengetik kata kunci di Google.
Namun orang tetap ingat di mana informasinya berada. Kognitifnya tidak turun, hanya strategi mengingatnya yang bergeser.
Dulu orang terbiasa menghafal isi. Budaya lisan membuat itu masuk akal.
Sekarang fokus pindah ke lokasi informasi agar bisa ditemukan kembali. Ini bentuk adaptasi.