Lihat ke Halaman Asli

Aidhil Pratama

TERVERIFIKASI

ASN | Narablog

Phoebus Cartel: Awal Mula Budaya Konsumsi Sekali Pakai

Diperbarui: 5 September 2025   12:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi peralatan elektronik rumah tangga. (SHUTTERSTOCK/PIXEL-SHOT via Kompas.com)

Pernah merasa barang elektronik sekarang cepat sekali rusak? Di rumah, hampir semuanya begitu. 

Ponsel pintar, printer, bahkan mesin cuci seolah punya tanggal jatuh tempo untuk berhenti bekerja. Sulit percaya ini cuma kebetulan. 

Banyak orang menyebutnya keusangan terencana. Strategi bisnis yang disengaja agar kita terus membeli yang baru. 

Praktik ini dikenal sebagai planned obsolescence (IEEE Spectrum, 2014). Caranya macam-macam. Produk dibuat kurang awet. Suku cadang dipersulit. Perbaikan diribetkan. 

Tujuannya sederhana dan sangat jelas. Biar penjualan tetap berputar.

Padahal teknologi yang tahan lama itu bukan mimpi. Ada contoh paling terkenal: "Centennial Light", si Lampu Abad Ini. 

Lampu pijar ini menyala terus di stasiun pemadam kebakaran di California, aktif sejak 1901 (Centennial Light Official Website). 

Keberadaannya menampar logika konsumerisme modern. Ia jadi simbol bahwa produk super awet itu mungkin. 

Hanya saja, di mata industri, justru di situlah masalahnya. Kalau satu lampu bertahan seumur hidup, siapa yang akan beli lampu lagi? Penjualan bisa anjlok. Keberlanjutan bisnis mereka ikut terancam.

Kekhawatiran seperti itu akhirnya melahirkan sebuah pertemuan bersejarah. Tahun 1924, di Jenewa, para raksasa lampu pijar berkumpul. 

Ada Osram dari Jerman, Philips dari Belanda, dan General Electric dari Amerika Serikat, beroperasi melalui berbagai anak perusahaan (Wikipedia). 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline