Banyak orang menganggap tempat kerja itu seperti panggung. Tempat kita bisa mengenal diri, katanya.
Tekanan di kantor? Kesempatan tumbuh. Konflik di kantor? Pelajaran hidup.
Cara kita menghadapi tenggat dan berurusan dengan klien pun disebut-sebut mencerminkan siapa kita sebenarnya.
Kedengarannya positif, bahkan cukup menyemangati. Tapi, narasi seperti ini juga bisa bermasalah. Karena tidak selalu cocok dengan realita.
Masalahnya, gagasan semacam ini sering melewatkan satu hal mendasar. Tidak semua orang punya kemewahan untuk merenung.
Banyak orang bekerja bukan untuk mengejar makna, tapi untuk bertahan hidup. Mereka harus bayar tagihan, menyekolahkan anak, dan mencukupi kebutuhan harian.
Energi mereka sudah habis bahkan sebelum hari berakhir. Perjalanan ke kantor yang jauh, tekanan target, jam kerja panjang - semuanya menguras habis tenaga.
Sampai di rumah, jangankan refleksi diri, untuk bernapas lega saja susah. Jadi, meminta mereka berkontemplasi soal "jati diri" rasanya kurang masuk akal. Seolah mengabaikan kondisi nyata mereka.
Narasi ini juga tanpa sadar membebani si pekerja. Kalau dia nggak bahagia atau merasa jenuh, dianggap kurang bersyukur. Kurang tangguh, mungkin.
Padahal, sering kali masalahnya bukan dari dalam diri mereka, tapi dari luar. Bahkan sistemik. Bukan sekadar perasaan semata, ini realitas struktural yang nyata. Dan itu terjadi di berbagai sektor, termasuk di Indonesia (SBM ITB, 2025).
Gaji minim? Nyata. Lingkungan kerja toksik? Nyata. Minimnya jaminan kerja? Juga nyata.