Lihat ke Halaman Asli

Ahmad Nur Luqman

Warga Blora

Kepala Desa Meminta Perpanjangan Jabatan

Diperbarui: 27 Januari 2023   16:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber: kompas.com

Isu perpanjangan masa jabatan kepala desa ramai diperbincangkan beberapa hari terakhir di media social, pasca adanya demo oleh para kepala desa di depan gedung DPR RI pada senin, 16 Januari 2023 lalu.

Mereka menuntut agar masa jabatan kepala desa diubah dari 6 tahun menjadi 9 tahun, tuntutan itu diketahui didukung oleh beberapa pejabat termasuk menteri desa PDTT Abdul Halim Iskandar, bahkan Budiman Sujatmiko menyebut presiden Jokowi setuju dengan tuntutan tersebut.

Perpanjangan masa jabatan dari 6 menjadi 9 tahun tersebut oleh netizen dianggap berbahaya dan harus dilawan, sebab bisa melanggengkan praktik korupsi di pedesaan. Belum juga kelar perdebatan terkait perpanjangan dengan masa jabatan kepala desa, Asosiasi pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Abdesi) belakang malah meminta agar kepala desa bisa menjabat sampai dengan 3 periode atau 27 tahun.Hal tersebut dikatan dalam jumpa pers Abdesi Jakarta pada senin 23 Januari 2023 lalu.

Isu terkait masa perpanjangan masa jabatan kepala desa ini memang menjadi riuh, sebab dianggap sebagai isu yang seksi terkait dengan konstelasi politik, jelang pemilu 2024.

"Haduh..... pak lurah pak lurah Mau jadi kepala desa sampai dengan 27 tahun itu buat apa ? wajib belajar aja cuman 9 tahun, ini kok bisa sampai 27 tahun. Apa nggak bosen ?"

Tiap hari selama 27 tahun ngantor di kantor yang sama, kegiatannya sama pula: masuk pagi, berangkat pakai tas polo, naik Honda WIN, sampai kantor nanti langsung ganti sandal jepitan, nyeduh kopi mix, tanda tangan dokumen, terus nanti siang Sholat Dzuhur, terus makan bakso atau mie ayam, main pimpong bentar, tanda tangan dokumen lagi, ngobrol sama carik atau perangkat desa yang lain trus sorenya pulang.

Besok berangkat kerja lagi, ngantor lagi, nyeduh kopi mix lagi, tanda tangan dokumen lagi, pimpongan lagi, begitu seterusnya. Ngantor lagi, nyeduh kopi mix lagi, tanda tangan dokumen lagi, pimpongan lagi, begitu seterusnya. Kalaupun dapat suasana kerja yang baru paling ya pas layat kalau ada warga yang meninggal, jenguk kepala dusun yang sakit demam berdarah di RSU, atau ngasih sambutan diacara 17 agustusan, atau pas jadi saksi mediasi kasus penggerebekan pasangan kumpul kebo.

Diluar itu ya paling mbalik lagi dirutinitas seperti biasa, itu-itu lagi, timplete klise, kering, mekanis, nggak ada gairah nihil adrenalin, kayak gitu kok mau dilakukan selama 27 tahun. Betapa membosankannya hidup ini.

Selain itu masih banyak aktivitas-aktivitas menyenangkan yang terpaksa tidak bisa dilakukan karena mempunyai status sebagai kepala desa: nggak bisa karaokean karena dianggap nggak pantes, nggak boleh terlihat asyik dalam mengurus perkutut atau librid sebab nanti dianggap lebih peduli sama ungas daripada warganya sendiri, nggak boleh mancing disungai nanti dikira memberikan pembenaran kepada para suami yang hobinya mancing-mancing mania.

Harus hati-hati! Sebab yang dipertaruhkan adalah nama desa. Resikonya besar, gitu kok mau 27 tahun. Kalau memang mau menjalani pekerjaan yang sama selama bertahun-tahun minimal pilih pekerjaan yang menantang, yang ada darahnya, ada elemen seksualitasnya yang penuh dengan tangis dan teriakan. Bong supit misalnya, itu malah jelas pengabdian dan tantangannya pak.

Sumber: 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline