Ada saat dalam perjalanan hidup ketika jalan terasa samar, tanda-tanda arah tak jelas, dan hati digelayuti keraguan. Bukan karena kita tidak tahu ke mana tujuan itu, melainkan karena kabut yang menutupi pandangan, menenggelamkan kepastian. Di sanalah manusia diuji: apakah ia berhenti, tersesat, atau justru menyalakan lentera kecil yang dibawanya sejak awal perjalanan.
Kabut keraguan seringkali lebih pekat daripada gelap malam. Malam memberi kita bintang untuk ditatap, rembulan untuk ditunggu. Tetapi kabut? Ia menutupi segalanya. Kita tidak bisa melihat jauh, hanya mampu menunduk ke tanah, memastikan setiap langkah tidak jatuh. Keraguan bekerja seperti kabut itu - menutup pandangan, menguji keyakinan, dan memaksa kita berjalan perlahan, hati-hati.
Namun justru di tengah kabut itulah, lentera jiwa menemukan maknanya. Cahaya kecil yang mungkin tampak tak berarti di kala terang, menjadi penuntun langkah di kala segala arah tampak kelabu.
Kabut Keraguan dalam Kehidupan
Setiap manusia pernah merasakan kabut keraguan:
Keraguan pada diri sendiri, ketika bertanya "Apakah aku mampu?"
Keraguan pada masa depan, ketika suara hati berbisik "Apa yang menantiku nanti?"
Keraguan pada keputusan, ketika kita berdiri di persimpangan tanpa tanda arah.
Bahkan keraguan pada Tuhan, saat doa yang kita panjatkan seakan menggantung tanpa jawaban.
Keraguan itu bukan musuh mutlak. Ia hadir sebagai guru yang halus. Ia mengajarkan kita rendah hati, sebab tanpa keraguan kita mungkin sombong dalam kepastian. Ia mengingatkan bahwa jalan menuju cahaya tak selalu lurus, kadang berliku, kabur, bahkan menyesakkan dada.