Demi menghurmati hak asasi, hak politik dan demi keadilan, MA memutuskan bagi mantan koruptor boleh nyaleg. Bukankah dengan telah menjalani hukuman berarti telah terhapus kesalahannya dan berhak memperoleh kembali hak politiknya berupa hak memilih dan dipilih?
Itulah alasan yuridis MA dalam mengambil keputusan hukum yang menurut hemat saya kurang mempertimbangkan segi etik dan moral yang seharusnya suatu kepastian hukum sejalan dengan tujuan hukum yang antara lain membuat jera bagi pelakunya dan sekaligus pencegahan tindak kejahatan bagi yang lain.
Pengertian hak politik antara hak memilih dengan hak dipilih dalam sistim demokrasi tentu sangat berbeda, tidak seperti difahami kebanyakan orang. karena adanya perbedaan kewajiban dan tanggung jawab antara keduanya.
Bagi seseorang yang hendak menggunakan hak dipilih (mencalonkan diri sebagai anggauta legislatif misalnya) kemudian berhasil terpilih, baginya punya kewajiban dan tanggung jawab yang jauh lebih besar daripada mereka yang hanya sekedar menggunakan hak memilih. Oleh karen itu ia berhak mendapat imbalan gaji dari negara dan oleh karena itu pula apa salahnya kalau ia harus memiliki sarat2 tertentu yang tak diperlukan bagi pihak yang memilih.
Alangkah konyolnya jika persaratan bagi pihak yang yang dipilih disamakan dengan pihak yang memilih dengan alasan sama2 sebagai hak politik, yaitu warganegara yang telah berusia 17 tahun atau sudh menikah, titik. Kalau begitu, seorang nara pidana (belum mantan) yang buta huruf lagi pula buta mata misalnya, boleh nyaleg demi menggunakan hak politiknya yaitu hak dipilih sebagaimana hak orang lain untuk memilih.
Larangan koruptor nyaleg oleh KPU sebenarnya cukup ideal, yaitu sebagai hukuman tambahan bagi koruptor dengan mencabut separo hak politiknya berupa hak dipilih dengan tetap memiliki hak memilih dan sebagai sarat tambahan bagi caleg yaitu tak pernah melakukan korupsi dan sarat2 lain yang akan lebih tepat jika dirumuskan dalam bentuk Undang2 yang menurut saya tak akan mengurangi prinsip keadilan demi kepentingan rakyat untuk tidak salah pilih.
Dampak psykologis dari larangan tersebut antara lain ialah untuk mencegah anggauta legislatif yang tidak korupsi agar tetap istiqomah untuk tidak akan melakukan korupsi karena adanya larangan nyaleg kembali pada pemilu berikutnya bila ia melakukan korupsi. Undang2 KPK tentang ancaman hukuman mati kan hanya berlaku bagi pelaku korupsi secara berulang2 yang faktanya jarang terjadi..
Dengan adanya larangan mantan koruptor nyaleg insyaAllah dapat meningkatkan bidang pencegahan bagi KPK yang selama ini dipandang kurang optimal dibandingkan dengan bidang penindakan.
Atau sekalian Undang2 KPK tentang hukuman mati diperluas berlaku bagi semua koruptor tanpa harus menunggu berulang2 yang akan menambah banyaknya kerugian uang negara.
Tapi lagi2, mana mungkin suatu Undang2 yang merupakan produk lembaga legislatif bisa mengakomodir hukuman berat bagi koruptor selama anggauta legislatifnya banyak yang terlibat kasus korupsi.
Maka satu2nya cara yang memungkinkan lahirnya Undang2 Anti Korupsi yang ideal ialah membersihkan atau mengembalikan kehormatan dewan legislatif dari kejahatan korupsi oleh para anggautanya dengan dimulai dari larangan mantan koruptor mencalonkan diri sebagai anggauta legislatif maupun sebagai pejabat eksekutif.