Lihat ke Halaman Asli

Agustinus Marjito

Saya adalah seorang pendidik sekolah dasar dan memiliki kecintaan pada dunia pendidikan anak-anak.

Benarkah Indonesia dalam Darurat Literasi dan Numerasi?

Diperbarui: 7 Agustus 2022   17:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rapor pendidikan Indonesia telah dirilis dalam laman  https://www.pusmendik.kemdikbud.go.id/profil_pendidikan   beberapa waktu lalu menjadi perhatian kita para insan pendidikan di Indonesia.  Puspendik.kemdikbud.go.id merilis hasil Asesment Nasional ini agar terjadi transparansi data rapor mutu pendidikan kepada publik, dan mengajak masyarakat melihat, mengawal,   dan berinovasi dalam meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia.

(properti of https://www.sekolahdasar.net)

Penulis dapat mengakses kesimpulan dari Asesment Nasional Pendidikan di Indonesia melalui laman ini. Secara keseluruhan Indonesia, kemampuan literasi dan numerasi berada di bawah kompetensi minimum untuk tingkat Sekolah Dasar.  Artinya kurang dari 50% siswa telah mencapai batas kompetensi minimum untuk literasi membaca dan literasi numerasi. 

Dalam Asesment Nasional tahun 2021,  dikatakan bahwa 1 dari 2 anak Indonesia dinyatakan tidak bisa memahami literasi dasar dan 2 dari tiga siswa Indonesia tidak bisa memahami numerasi dasar. Jika demikian maka kita berada dalam keadaan yang kritis, secara nasional dalam hal literasi dan numerasi.  Saya berpedapat bahwa kita berada dalam darurat literasi dan numerasi. 

Pertanyaannya mengapa kita dalam kondisi ini sekarang?  Tentu hasil tak pernah jauh dari proses yang dilaksanakan. Ada tiga komponen pokok dalam proses pendidikan yang perlu mendapatkan perhatian. 

Pertama adalah kualitas pembelajaran yang dilaksanakan di dalam kelas. Secara nasional  indeks kualitas pembelajaran ini belum baik, karena masih dalam kategori terarah

Artinya pembelajaran mengarah pada peningkatan kualitas yang ditunjukkan dengan suasana kelas yang mulai kondusif dan adanya dukungan afektif serta aktivasi kognitif dari guru. 

Komponen kedua yang digunakan untuk mengukur mutu proses  adalah refleksi guru. Dalam komponen ini guru di Indonesia masih dikategorikan aktif. 

Artinya kegiatan pengembangan kualitas pembelajaran yang dilakukan belum terstruktur. Guru belum konsisten melakukan refleksi pembelajaran, mengeksplorasi referensi pengajaran baru, dan mencetuskan inovasi baru.

Komponen ketiga untuk mengukur mutu proses pendidikan adalah kepemimpinan Instruksional para kepala Sekolah. Data menunjukkan bahwa Kepemimpinan Instruksional para Kepala Sekolah di Indonesia dalam kategori terbatas

Artinya kepemimpinan instruksional belum mengacu pada visi misi sekolah, belum mendorong perencanaan, praktik dan asesmen pembelajaran yang berorientasi pada peningkatan hasil belajar siswa dan belum mengembangkan program, sistem insentif dan sumber daya yang mendukung guru melakukan refleksi dan perbaikan pembelajaran. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline