Lihat ke Halaman Asli

agus siswanto

tak mungkin berlabuh jika dayung tak terkayuh.

Hati-hati dengan Framing

Diperbarui: 19 Juli 2021   20:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber: mediaindonesia.com

Peringatan ini semula saya anggap biasa saja. Pemaparan berita dengan mengambil sudut pandang tertentu, itu sah-sah saja. Oh, ya framing sendiri menurut wikipedia adalah membingkai suatu peristiwa.

Framing biasa dilakukan oleh pihak tertentu, terutama media untuk menyampaikan sebuah peristiwa dengan sudut pandang mereka. Tujuan yang hendak dicapai tentu saja mendapatkan perhatian lebih dari public. Tentu saja dalam framing tersebut, harus didukung berbagai data-data yang dapat menguatkan sudut pandang yang mereka usung.

Pendapat saya berubah ketika menyaksikan wawancara salah satu televisi swasta dengan sosiolog hebat negeri ini, Imam B. Prasojo. Saat itu sang sosiolog mengingatkan pihak televisi agar berhati-hati dalam mem-framing suatu peristiwa. Saat itu televisi swasta tersebut mengangkat derita para pedagang akibat penerapan PPKM.

Dalam bantahan tersebut, Imam B. Prasojo juga menyampaikan seandainya PPKM tidak dilaksanakan dengan baik. Kemudian berdampak dengan meledaknya pasien Covid-19 di rumah sakit, maka yang pasti akan mengalami masalah serius adalah para nakes yang hingga saat ini telah bekerja keras menangani pasien yang membludak.

Disampaikan pula, bahwa dari sisi apparat pun pasti ada perasaan tertekan saat melaksankan tugas penertiban. Sebagai manusia lumrah, mereka pun mengerti apa yang diderita para pedagang saat PPKM diterapkan. Apalagi hanya berjualanlah yang menjadi andalan mereka bertahan hidup.

Berbekal dari tontonan ini, saya pun tersadarkan. Bahwa setiap peristiwa itu pasti saling berkaitan. Tuntutan lockdown dari berbagai pihak, mungkin langkah tepat untuk menahan laju penyebaran Covid-19. Namun di sisi lain, bisa saja hal ini akan melahirkan persoalan yang lebih besar. Kelaparan dan kemiskinan yang terjadi akan membawa negara dalam kekacauan besar.

Demikian pula saat media menampilkan aksi demonstrsai mahasiswa yang berakhir rusuh. Dalam kerusuhan apparat penegak hukum melakukan tindakan yang menimbulkan korban di kalangan mahasiswa. Kemudia media memframing situasi itu dari sisi mahasiswa dengan menyudutkan aparat penegak hukum.

Nah ketika sudut pandang mereka untuk berada pada sisi aparat, maka bisa jadi akan berbeda ceritanya. "Penderitaan" para aparat penegak hukum saat menghadapi demo yang anarkhis, mungkin akan menjadi cerita menarik. Betapa mereka merasa tidak nyaman dengan pakaian yang mereka gunakan, cuaca panas menyengat, berbagai teriakan hujatan, dan lain-lain bukan tidak mungkin hal itu membuat mereka tidak bisa mengendalikan diri.

Gambaran-gambaran semacam ini tentu tidak akan terjadi, jika berita yang tersaji muncul secara seimbang. Sudut pandang yang diambil si wartawan adalah sudut pandang dari  2 sisi. Jikalau itu terjadi di media massa, paling tidak awak media yang diturunkan berada di kedua sisi.

Pemaparan yang imbang dari kedua sisi, pasti akan berdampak positif bagi pembaca atau pemirsa. Informasi tersebut, akan membantu mereka untuk mengambil sikap terhadap sebuah peristiwa. Dan pada akhirnya akan membuat bijak dalam mengambil langkah. Tahu sendiri masyarakat kita masuk dalam kategori sumbu pendek. Artinya mudah meledak karena sesuatu yang belum jelas.

Lembah Tidar, 19 Juli 2021




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline