Lihat ke Halaman Asli

Agus Subali

Penikmat keheningan.

Hubungan Toxic Manusia dan Alam

Diperbarui: 6 Agustus 2021   22:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

                                                                                                                             pixabay.com

Menjadi sebuah keprihatinan mendalam, melihat saudara se-tanah air  terkena bencana alam banjir dan juga tanah longsor. Aktivitas ekonomi lumpuh dan kehidupan menjadi susah, karena kebutuhan dasarnya terhambat. 

Tulisan ini bukan untuk menggurui ditengah bencana yang terjadi, karena yang dibutuhkan adalah empati dan peduli. Siapapun tidak ingin menderita karena bencana. Ini hanya bentuk perenungan, terkait  relasi manusia dan alam.        

Apakah bencana itu? jawabannya adalah segala sesuatu yang merugikan bagi manusia. Misal: banjir yang menggenangi pemukiman adalah bencana, longsor yang menimbun pemukiman adalah bencana, angin puting beliung yang menerjang perumahan adalah bencana. Bahkan, meteor jatuh yang menimpa atap rumah warga juga masuk bencana. Perspektif bencana dikaitkan dengan dampak tidak mengenakkan bagi manusia.

Kalau ada gunung meletus di tengah laut, jauh dari pemukiman manusia. Tercatat korban hanya, ikan lemuru, kepiting, kerang, ikan tuna maka itu bukan bencana. Karena manusia tidak dirugikan. Kita menyebutnya sebagai aktivitas vulkanik di dasar laut.

Peradaban manusia sudah berumur ribuan tahun. Ilmu pengetahuan juga semakin maju. Harusnya manusia bisa memahami karakteristik Bumi dan aktivitasnya. Semisal, hujan bisa diprediksi kapan datangnya. Wilayah mana saja yang berfungsi menjadi resapan air juga bisa ditentukan.

Kalau wilayah resapan air ditutupi, maka air akan menggenang. Pastinya manusia sudah paham dengan hal itu. Itu hal mudah yang tidak membutuhkan teknologi tinggi. Banjir terjadi karena jalan air tertutup. Jalan ke laut dan jalan masuk ke dalam tanah. Sesederhana itu dan semudah itu konsepnya.

Namun, di tengah pencapaian kemajuan teknologi ruang angkasa ternyata manusia masih disibukkan dengan bencana alam yang diakibatkan hujan. Anehnya, manusia seperti tidak berdaya untuk mengatasinya. Teknologi dan rekayasa penanganan banjir pastinya tidak sesulit teknologi membuat kendaraan atau bahkan teknologi untuk mengirimkan manusia ke Bulan. Nyatanya hujan masih menjadi sumber malapetaka bagi manusia. Padahal hujan adalah siklus alamiah berulang.

Apa yang salah dari manusia?

Pertama, manusia terlalu sombong. Jangan marah kalau manusia dikatakan sombongmungkin bukan Anda. Ini kaitannya kesadaran keberadaannya di Bumi. Manusia menganggap bahwa dirinya adalah spesial di planet ini--sepakat untuk urusan tertentu. Sehingga apapun yang dilakukan, hanya fokus untuk kepentingan manusia saja. 

Sedangkan yang lain tidak terlalu dipikirkan. Misal, ketika membangun rumah, harusnya juga memperhitungkan hak pohon, haknya air, haknya semut, ataupun haknya makhluk hidup yang lain. Kalau saja manusia menganggap bahwa pohon, air dan segala makhluk hidup lainnya adalah tetangganya dan harus dihormati, maka manusia tidak akan membangun pemukiman di bantaran sungai atau di lereng-lereng pegunungan yang menjadi hak dari pohon dan air.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline