Lihat ke Halaman Asli

Agung Webe

TERVERIFIKASI

Penulis buku tema-tema pengembangan potensi diri

Alasan Saya Mengapa Berhenti Jadi Pramugara

Diperbarui: 27 Oktober 2018   14:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber gambar: wheelchairtravel.org

Dua puluh tahun terbang bersama maskapai terbesar Nasional, tentu sangat menyenangkan. Betapa tidak? Singgah di kota-kota dari berbagai Negara dari wilayah Eropa,Timur Tengah, Asia, Australia dan Amerika tentu memberikan kesan yang tidak akan terlupakan. Wisata dan belanja hampir mewarnai seluruh perjalanan dari para awak pesawat penerbangan.

Tidak ada yang tidak enak bekerja sebagai awak pesawat. Yang ada adalah enak dan enak sekali. Dari gaji, pendapatan uang terbang dan fasilitas yang didapat lebih dari cukup untuk menunjang kehidupan beserta pernak-perniknya.

Namun setelah dua puluh tahun terbang, saya harus memutuskan "sudah" dan meninggalkan profesi tersebut. Banyak dari teman-teman satu profesi saat itu kaget dengan keputusan saya yang terlihat tiba-tiba dan tentu saja dengan pertanyaan, "mengapa?" dan "ada apa?"

Profesi Pramugara (dan pramugari tentu saja) membutuhkan performa kesehatan yang prima. Artinya mereka akan menjalani waktu kerja dengan jam tidur dan jam makan yang tidak teratur. Menu makanan juga banyak yang tidak dapat dipilih karena apabila sedang singgah di luar negeri, fast food menjadi pilihan yang gampang. 

Mereka yang masih terbang, tentu saja mempunyai tenaga ekstra untuk mengatur jam tidur dan jam makan sehingga metabolisme dan gizi seimbang tetap terpenuhi. Saya merasakan ketika usia mulai menginjak angka empat puluh saat itu, tidak teraturnya jam tidur dan jam makan menjadi 'bom waktu' bagi kesehatan saya pribadi nantinya.

Persiapan waktu kerja yang harus ditempuh tiga jam sebelum waktu take-off. Banyak masyarakat yang hanya melihat para awak pesawat sudah berada di bandara, berjalan dengan tegap dan penuh senyum. Kemudian dengan wajah ceria menyambut penumpang di atas pesawat. Namun sesungguhnya persiapan yang mereka lakukan memerlukan waktu yang panjang. 

Apabila pesawat akan take-off jam lima pagi, maka mereka sudah dijemput pada jam dua pagi dan melakukan serangkaian cek keamanan alat-alat keselamatan di pesawat beserta makanan yang akan disiapkan untuk penumpang. Menjaga agar kantuk tidak menyerang dan memasang wajah fresh setiap saat merupakan keharusan yang ditampilkan.

Waktu penerbangan memang sangat menyita. Apabila penerbangan malam yang ditempuh dengan waktu sembilan jam, maka selama itu tugas sebagai safety guide harus ditegakkan. Artinya selama penumpang tidur, awak pesawat secara periodik berkeliling memastikan kondisi pesawat aman dan nyaman. Penerbangan panjang inilah yang mengharuskan awak pesawat untuk melawan kantuk dan menjaga performanya.

Kondisi kabin pesawat merupakan kondisi yang dibuat memiliki tekanan udara normal, walaupun sedang dalam ketinggian di atas 32.000 kaki. Bagi penumpang mungkin hal ini tidak terlalu berpengaruh.

Namun bagi awak pesawat yang berulang kali mengalaminya, akan menyebabkan pengaruh terhadap kelelahan yang sangat (fatigue) yang diakibatkan oleh perbedaan tekanan udara. Apabila hal ini dialami pada masa yang lama maka akan berpengaruh terhadap regenerasi sel tubuh.

Tersitanya waktu yang dipakai untuk persiapan sebelum terbang, selama penerbangan dan lamanya hari dalam satu jadwal terbang, harus saya akui sebagai hilangnya jam-jam produktif yang dapat dilakukan untuk penggalian potensi diri. Sehingga bagi awak pesawat yang kalah dengan rasa lelahnya ia tidak akan punya kesempatan untuk belajar meningkatkan kemampuan dirinya (waktunya habis untuk jalan-jalan, belanja dan istirahat).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline