Lihat ke Halaman Asli

Agil Septiyan Habib

TERVERIFIKASI

Planmaker; Esais; Impactfulwriter; Founder Growthmedia; Dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Covid-19 Terus Mengancam, tapi Kita Masih Butuh Makan, Apa Solusinya?

Diperbarui: 14 April 2020   07:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aktivitas pasar tradisional di tengah pandemi COVID-19 | Sumber gambar: kompas.com

Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sudah mulai diterapkan. DKI Jakarta yang merupakan episentrum persebaran COVID-19 di Indonesia sudah sejak 10 April kemarin mulai memberlakukan. Beberapa wilayah lain dalam lingkup Jabodetabek sebentar lagi juga akan mengikuti langkah serupa. Berharap dengan penerapan PSBB ini maka persebaran COVID-19 bisa dikendalikan.

Namun, beberapa evaluasi mengemuka terkait pemberlakuan PSBB di DKI Jakarta yang baru beberapa hari ini berjalan. Masih ada aktivitas yang melibatkan kerumunan orang dalam jumlah besar. Para pekerja pabrik atau kantoran masih banyak yang berlalu lalang. Demikian juga dengan aktivitas masyarakat di pasar yang seperti tidak mengalai perubahan samasekali. 

PSBB yang memiliki tujuan akan physical distancing atau social distancing seakan belum menemukan efektivitasnya. Tidak sedikit warga yang cuek beraktivitas tanpa mengenakan masker, berdesak-desakan melakukan transaksi jual beli, dan bejubel memadati armada transportasi. 

Padahal kita semua tahun COVID-19 sangat rawan menular antara satu orang ke orang lain dalam suatu kerumunan manusia berjumlah besar. Entah semua pengabaian ini terjadi karena kita tidak menyadari bahaya COVID-19 atau karena ada alasan lain yang jauh lebih mendesak. Dan sepertinya alasan kedualah yang menjadi sebab musebab mengapa masih banyak diantara kita yang abai dengan situasi ini.

Alasan itu adalah tentang perut dan kebutuhan hidup lainnya. Biarpun COVID-19 melanda dan mengintai kesehatan kita, setiap orang masih tetap membutuhkan asupan makanan. Tetap butuh membayar tagihan, uang sekolah, atau sekadar membeli kuota. Semua tahu COVID-19 telah merenggut banyak korban jiwa. 

Akan tetapi hal itu tidak menghilangkah fakta bahwa kita membutuhkan sumber penghasilan untuk tetap bertahan. Karena sejauh ini kehidupan kita tidak berjalan secara gratis. Membeli beras masih perlu uang dari kantong kita sendiri. 

Membeli lauk pauk, obat-obatan, pulsa, bahkan masker pun juga harus dari kantong pribadi masing-masing orang. Tidak ada orang lain yang menafkahi hidup orang lainnya. Sehingga menjalani profesi sebagaimana biasa terasa seperti keharusan yang tidak bisa ditolerir. Ancaman COVID-19 mungkin hanya dianggap sebagai salah satu risiko dari sekian risiko lain yang mengusik keberlangsungan hidup seseorang.

Sebagain orang yang memiliki lebih dari cukup penghasilan mungkin akan memberi alokasi khusus untuk pengadaan alat pelindung diri seperti masker atau peralatan kebersihan terkait. Hanya saja tidak semua orang mampu untuk melakukan itu. 

Sebagian yang lainnya akan berfikir seribu kali antara membeli kebutuhan tersebut atau membeli kebutuhan makan keluarga hari ini. Apakah kita menyaksikan semua pedagang sayur keliling mengenakan masker pelindung selama berjualan? Apakah kita melihat pedagang asongan melakukan hal serupa? Apakah kita melihat semua pekerja kasar menunaikan pekerjaannya dengan standar PSBB yang diberlakukan? Jawabannya adalah ada untuk sebagian kecil saja. 

Apakah mereka salah dengan bersikap seperti mengabaikan keamanan dan kesehatan pribadinya? Belum tentu juga. Kalau bisa dibilang mungkin sebagian dari mereka cenderung melakukan aksi "bonek" atau bondo (modal) nekad. Sakit itu urusan nanti. Prioritasnya adalah bagaimana bisa mendapatkan penghasilan untuk mencukupi kebutuhan harian.

Prioritas

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline