Lihat ke Halaman Asli

Aditya

Mahasiswa Sosiologi

Hilangnya Ruang Bernafas

Diperbarui: 5 Oktober 2019   08:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

patung di Riau pakai masker, sumber: idm times

Menghirup udara tidak sehat, mengidap ISPA, aktivitas terganggu oleh asap akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) sudah menjadi agenda tahunan masyarakat Riau. Tahun 2015 disebut-sebut sebagai bencana asap terparah yang dialami oleh masyarakat Riau akibat karhutla. 

Dimana asap pekat mengganggu aktivitas dan membahayakan masyarakat Dumai, Bengkalis, Pekanbaru, Siak dan beberapa daerah yang ada di Riau lainnya. Berdasarkan satelit TERRA/AQUA, tercatat pada tahun 2015 terdapat 1.292 titik api yang ada di Riau.

Kini hal serupa terulang kembali, masyarakat riau dipaksa menghirup udara yang bercampur dengan asap, menurut data dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika menunjukkan kualitas udara di Pekanbaru per 22 September 2019, pukul 22.24 WIB berada pada level berbahaya dengan konsentrasi partikulat PM10 mencapai 744.15 gram/m3. 

Kualiltas udara ini tidak lagi manusiawi, karena berbahaya untuk dihirup oleh masyarakat Riau. Menurut Plt Kepala  Data dan Informasi BNPB titik api di Provinsi Riau tahun 2019 mencapai 114 titik api. Meski jumlah tersebut jauh lebih sedikit ketimbang pada tahun 2015 lalu, namun kualitas udara berbahaya untuk dihirup oleh masyarakat.

Namun krisis kebakaran dan asap yang melanda Riau pada tahun 2015 dan 2019 bukanlah yang terparah sepanjang sejarah di Indonesia . Negara-negara di Asia Tenggara seperti Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand, Filipina, bahkan hingga sebagian Austarial merasakan dampak dari kebakaran hutan dan lahan tahun 1997 silam.  

Menurut hasil riset yang dilakukan oleh Afid Nurkholis dari Fakultas Geografi UGM Yogyakarta, dengan judul riset "Analisis Temporal Kebakaran Hutan dan Lahan  di Indonesia Tahun 1997 dan 2015" mengatakan bahwa kebakaran hutan di Riau dan Kalimantan pada 1997 merupakan kebakaran hutan dan lahan terparah yang pernah terjadi. 

Bahkan dilaporkan Liputan 6 (13 Desember 2013) pesawat Garuda Jenis Airbus 300 dengan kode penerbangan GA 152 menabrak gunung dan meledak di Desa Buah Nabar, Kec. Sibolangit, Kab. Deli Serdang dikarenakan langit Deli sedang diselimuti kabut asap akibat karhutla, kecelakaan tersebut menewaskan semua 222 penumpang dan 12 kru pesawat. Kecelakaan tersebut merupakan kecelakaan terburuk sepanjang penerbangan di Indonesia.

Kebakaran hutan dan lahan tahun 2019 telah membawa dampak yang signifikan bagi masyarakat, bagaimana tidak oksigen atau udara yang menjadi kebutuhan primer yang tak dapat ditawar lagi mengandung karbon, sulfur, maupun metana yang berbahaya dihirup bagi manusia. 

Menurut data Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (15 September 2019), penderita ISPA di Provinsi Riau periode 1-15 September 2019 mencapai 15. 346 orang. 

Tidak hanya sampai disitu, mengutip dari INews (20 September 2019) asap juga merenggut nyawa dari seorang bayi yang berusia 3 hari di Pekanbaru, Riau, dokter yang sempat menangani bayi tersebut mengatakan jika anak dari pasangan Evan dan Lasmayani terdampak virus akibat kabut asap.

Pemerintah memang telah bertindak untuk memadamkan kebakaran hutan dan lahan di Riau, dari melakukan restorasi gambut sebagai upaya pencegahan dan pemulihan lahan gambut, mengerahkan tim manggala api, melakukan pembenihan awan, hingga menggunakan helikopter untuk water bombing. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline