Lihat ke Halaman Asli

Aditya Najla

mahasiswa

"The Girl in The Cafe", Bukan Drama Romance Biasa

Diperbarui: 25 Januari 2023   13:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Film. Sumber ilustrasi: PEXELS/Martin Lopez

Film "The Girl In The Cafe" dibuka dengan adegan "kebetulan" seperti kebanyakan drama romantis lain, yakni sang tokoh utama pria, Lawrence dan tokoh utama wanita, Gina, dipersatukan di satu meja karena cafe yang penuh. Khas adegan klasik dari film bergenre drama-romantis.

Namun tenang saja film garapan David Yates dan ditulis oleh Richard Curtis ini bukan drama romansa biasa. Film yang dirilis pada 25 Juni 2005 di Chanel BBC One ini, menghadirkan drama romansa yang dibalut dengan kemanusia, malah bisa dibilang unsur kemanusiaan dalam film ini cukup kental. Hal inilah yang membuat film The Girl in The Cafe berbeda dengan drama romansa biasa.

Pertemuan yang tidak disengaja antara Lawrence dan Gina ini kemudian bergulir dengan obrolan-obrolan canggung Lawrence dan Gina, sekadar remeh-temeh mengenai hal-hal sederhana namun membawa hubungan keduanya menjadi lebih dekat. Lawrence yang kikuk dan Gina yang pemalu, sebuah formula paling standar bagi sebuah film romantis.

Setelah adegan makan siang yang mempersatukan dua manusia asing tersebut, Lawrence memberanikan diri untuk mengajak Gina makan siang di lain waktu, ajakan ini syukurlah diiyakan oleh Gina. 

Adegan kemudian bergulir, penonton diajak melihat kehidupan seorang Lawrence sebagai seorang staf ekonomi, bagaimana segala hal sangat membosankan; tekanan yang Lawrence terima dari rekan kerjanya mengenai hubungan asrama, dan Lawrence yang pada dasarnya sangat kikuk. Hal tersebut membuat penonton mengerti pertemuan Lawrence dengan Gina menjadi hal yang membuka mata Lawrence, menjadi seberkas warna dalam hidupnya yang hitam putih.

Penonton disuguhkan sebuah pembuka yang monoton dan membosankan sejak awal, serta alur cerita yang mudah ditebak. Namun semua itu berubah di pertengahan film, saat Lawrence mengajak Gina untuk ikut ke Reykjavik, menghadiri konferensi G8.

Masih dengan romansa kikuk yang terjalin antara Lawrence dan Gina, tetapi penonton dibawa melihat hal menarik yang terjadi di konferensi tersebut, dialog-dialog antar staf dan menteri yang membahas mengenai kemiskinan dan kelaparan di Afrika disuguhkan dengan begitu epik karena adegan itu memperlihatkan meja yang penuh makanan. Sebuah adegan yang menyentil dan ironis.

Kita juga diperlihatkan sisi lain seorang Gina, seorang gadis yang Lawrence temukan di cafe itu bukan sekedar gadis polos biasa, ia adalah seorang wanita dengan argumen yang kuat dan pemikiran terbuka. Caranya menyampaikan aspirasi mengenai isu yang terjadi pada pemangku jabatan sangat tegas dan cerdas. Ia mampu "mengancam" para pemangku jabatannya dengan suaranya yang lirih.

Film ini berubah seketika, dari film drama-romantis dengan segala troop klasik, menjadi film yang membuka mata kita mengenai isu sosial yang terjadi di dunia. Mengenai pengidap AIDS yang berjuang mati-matian, anak-anak yang kekurangan edukasi dan air bersih, dan kelaparan yang melanda dunia. 

Bagi pemangku jabatan semua hal tersebut hanya sebuah isu yang menjadi ajang pencitraan, tanpa langkah nyata, hanya kata tak bermakna. Grafik dan data hanya sebuah angka bagi mereka. Sedangkan bagi Gina, semua itu berarti, ia tak sekedar berucap, namun memikirkan mengenai langkah nyata.

Meski dibuka dengan hal klasik dan monoton, film ini kemudian menyuguhkan hal yang menarik. Dialog-dialog epik ditunjang dengan pengambilan adegan yang ciamik, mampu menyampaikan pesannya dengan baik kepada penonton.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline