Lihat ke Halaman Asli

Adelia TriEka

Pengelana

Saujananya Hidup

Diperbarui: 26 Januari 2019   11:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: Succubus

Salam hormat bapak! Kepadamu aku hanya bisa meminta
sambil menyembunyikan letak isi dadaku yang riuh oleh gemagema kenalan remaja
sebab pikiran ini akan menjadi matang
pada waktunya, semoga.

Maka-


biarkan untuk kali ini jiwa berkeliaran mencari sepenggal arti kehidupan
lalu, berbanggalah kepada langkah yang sudah terbuat
atau bahkan sebaliknya
entahlah! Nantikan saja episode setelahnya.

Tetapi-

jangan kau buat laparku lebih liar dari debu jalanan, pintaku. Sambil menolak banyak makanan dunia.

Tunggulah sebentar, wahai pria yang lebih tua yang Kupanggil sebagai ayah saat bermanja.

Duduk dan berdiriku masih belum benar-benar tepat
masih menelisik badan pagi hingga malam
demi menggenapi hari menuju sisi kemanusiaanku.

Jangan lelah mengutarakan pendapatmu
sebab daun jendela yang kupunya hanya sebagian kecil dari luasnya ventilasi udara, milik kita, yang terkadang tampias air hujan dan membuat basah ruangan santai, tempat berbagi kebahagiaan.

Inilah jalur hidup, ayah. Aku menghamba, selebihnya biar hati yang meneruskan perjalanan sambil bernyanyi puji syukur kepada Yang Esa atas segala nikmat dan anugerahnya.

Lalu mendekap hasil teka-teki yang masih miskin kemarin. Meracik surga perlahan-lahan dengan tatapan kepastian
tanpa lagi merepotkan bahu kekarmu yang menjadi wadah penimbun air mataku.

Cukup katakan, "sayang, aku masih ada." Kemudian membelai rambutku yang panjang sebatas mimpi.

Bait akhir dari sekian rintik kuringkas, maka.

Aku mencintaimu, ayah! Tanpa tanda kutip dunia.

Tangerang, 26 Januari 2019.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline