Lihat ke Halaman Asli

ADE IMAM JULIPAR

AutoCAD Trainer

Keadilan Sosial

Diperbarui: 4 Maret 2018   20:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ini tentang celoteh seseorang. Celotehan ini ditunjukan ke Bung Karno. Dan ini saya dengar dari mulut seorang kawan ketika pada suatu malam ngopi di warung Mpo Mimin yang punya kontrakan petak berderet.

"De, saya bingung dengan Bung Karno. Di satu sisi dia selalu meneriakan tentang keadilan sosial. Tapi di sisi lain wanitanya banyak. Memangnya pada waktu itu engga ada jones (jomblo ngenes) yang butuh kasih sayang?" demikian celoteh kawan saya ini.

"Dimana letak keadilan sosialnya? Semua wanita diborong. Lantas yang jones kebagian apa? " lanjut dia.

Saya hanya nyengir saja mendengar celotehannya. Karena saya tahu dia memahami keadilan dalam pengertian sempit.

Ratusan  tahun lalu, di Yunani beberapa orang sudah memikirkan tentang keadilan. Jauh sebelum Indonesia lahir. Kita bisa menyebut dua nama: Plato dan Aristoteles.

Seperti yang kita tahu Plato adalah seorang pemikir idealis abstrak yang mengakui kekuatan-kekuatan diluar kemampuan manusia sehingga pemikiran irasional masuk dalam filsafatnya. Demikian pula halnya dengan masalah keadilan, Plato berpendapat bahwa keadilan adalah diluar kemampuan manusia biasa. Sumber ketidakadilan adalah adanya perubahan dalam masyarakat. Masyarakat memiliki elemen-elemen prinsipal yang harus dipertahankan, yaitu: Pemilahan kelas-kelas yang tegas yaitu kelas penguasa dan rakyat.

Keadilan juga dipahami secara metafisis keberadaannya sebagai kualitas atau fungsi makhluk super manusia, yang sifatnya tidak dapat diamati oleh manusia. Konsekuensinya ialah, bahwa realisasi keadilan digeser ke dunia lain, di luar pengalaman manusia; dan akal manusia yang esensial bagi keadilan tunduk pada cara-cara Tuhan yang tidak dapat diubah atau keputusan-keputusan Tuhan yang tidak dapat diduga. Oleh karena inilah Plato mengungkapkan bahwa yang memimpin negara seharusnya manusia super, yaitu the king of philosopher.

Untuk mewujudkan keadilan masyarakat harus dikembalikan pada struktur aslinya, penguasa menjadi penguasa, rakyat menjadi rakyat. Tugas ini adalah tugas negara untuk menghentikan perubahan. Dengan demikian keadilan bukan mengenai hubungan antara individu melainkan hubungan individu dan negara. Bagaimana individu melayani negara.

Lain Plato, lain pula Aristoteles. Secara umum dikatakan Oleh Aristoteles bahwa orang yang tidak adil adalah orang yang tidak patuh terhadap hukum (unlawful, lawless) dan orang yang tidak fair(unfair), maka orang yang adil adalah orang yang patuh terhadap hukum (law-abiding) dan fair. Karena tindakan memenuhi/mematuhi hukum adalah adil, maka semua tindakan pembuatan hukum oleh legislatif sesuai dengan aturan yang ada adalah adil. Tujuan pembuatan hukum adalah untuk mencapai kemajuan kebahagiaan masyarakat. Maka, semua tindakan yang cenderung untuk memproduksi dan mempertahankan kebahagiaan masyarakat adalah adil.

Nah, sekarang kita bicara tentang keadilan menurut Bung Karno. Ini bisa kita temui dalam pidato Bung Karno 1 Juni 1945  di depan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

Bung Karno menyampaikan lima dasar (sila) yang diusulkannya yaitu: pertama, nasionalisme atau kebangsaan, tapi bukan nasional-isme sempit atau chauvinisme. Nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang berperikemanusiaan yang memandang seluruh bangsa mempunyai kesamaan harkat dan martabat. Untuk itu, kebangsaan haruslah disertai dengan sila kedua yakni internasionalisme atau perikemanusiaan. Bertolak dari kesamaan derajat dan martabat kemanusiaan, maka setiap warga masyarakat harus bebas dari penjajahan dan feodalisme. Dengan demikian, kedaulatan harus berada di tangan rakyat bangsa sendiri, sehingga sila ketiga ialah mufakat atau demokrasi. Tujuan dari negara ialah mengantarkan bangsa Indonesia menuju masyarakat sejahtera yang berkeadilan. Maka jadilah kesejahteraan sosial sebagai dasar keempat. Semua dasar negara tersebut, baik sebagai landasan maupun sebagai tujuan negara, adalah diabdikan oleh bangsa Indonesia kepada Tuhan Yang Maha Esa menurut keyakinan masing-masing agama. Dengan kata lain, semuanya bermuara pada kepasrahan kepada Tuhan YME dengan mengharapkan ridah-Nya terhadap bangsa Indonesia. Dengan demikian, jadilah Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai sila kelima, yang menjadi sumber sekaligus tujuan akhir dari segalanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline