Lihat ke Halaman Asli

Cerpen: New (Tidak) Normal

Diperbarui: 7 Juni 2020   05:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

foto: dok. pribadi

Sampai kapan kita harus berada di rumah? Sampai kapan kita beribadah di rumah? Sampai kapan kita berada dalam kondisi yang tak menentu? Seluruh pertanyaan itu jelas-jelas tak bisa dijawab dengan jawaban ala-ala anak muda yang sedang nongkrong di angkringan. 

Jika bisa dijawab, pun dengan perspektif yang sangat spekulatif, menimbulkan pertanyaan lanjutan dan bisa menjadikan debat kusir, tak terarah, dan tak berujung hingga dajjal datang ke bumi.

            

Di kala kebingungan melanda seluruh masyarakat, secara mendadak media massa dan media sosial mewacanakan adanya new normal. Suatu gagasan agar masyarakat bisa kembali bekerja dan beraktivitas sesuai dengan protokol kesehatan yang dihimbau oleh pemerintah. Dampaknya, pasar, mall, dan kantor-kantor akan di buka dengan ketentuan ketat agar keselamatan masyarakat tetap terjamin.

Wacana ini tentunya dipandang kontroversial, bisa menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Banyak para pihak dari kalangan masyarakat yang memandang, wacana new normal terlalu dini untuk dibahas saat kondisi dilanda pandemi. Apalagi korban terus-menerus bertambah, angka kematian semakin naik ke atas selama PSBB, bukankah ini terlalu riskan? Apalagi kenyataan di lapangan tak seideal yang diharapkan.

Sewaktu PSBB, masih banyak orang-orang berkeliaran tanpa menggunakan masker, melakukan kumpul-kumpul dalam jumlah banyak, jika new normal akan diterapkan bisa jadi korban positif dan korban kematian mengalami lonjakan secara signifikan. Bukankah itu juga akan memubazirkan upaya kita selama beberapa bulan guna memutus mata rantai covid 19 dengan cara berdiam diri di rumah?

Berbicara masalah ekonomi, tentunya merupakan kebutuhan pokok setiap manusia, tetapi di kala pandemi masih belum teratasi dan masih memakan korban dalam jumlah banyak, new normal akan sangat beresiko karena nyawa menjadi taruhannya. Dalam hal ini, seakan nyawa dinomor duakan, sedangkan masalah ekonomi dinomor satukan.

Bukankah lebih tepat wacana stay at home diterapkan hingga saat ini, sembari menunggu angka kesembuhan lebih besar daripada angka kematian? Lalu pekerja harian masih diperkenankan bekerja sesuai dengan protokol kesehatan.

Selain itu, masyarakat secara aktif masih bisa menggalang dana dari para donatur untuk disalurkan kepada masyarakat yang membutuhkan. Hal itu tentu lebih relevan diterapkan. Bila kondisi telah siap dan matang, new normal akan bisa terlaksana dengan mudah. Masyarakat akan lebih banyak yang mendukung daripada menolak.

*****

Sebuah opini koran harian beberapa hari lalu membuka pagiku dengan ditemani secangkir kopi. Aku yang dari tadi keasyikan membaca tak sadar, bahwa waktu telah menunjukkan pukul 07.30 WIB, dimana aku harus bersiap pergi mengantar istriku pergi ke pasar guna membeli kebutuhan sehari-hari. Motor butut yang kupanaskan semenjak tadi telah siap membawaku ke tempat bertemunya penjual dan pembeli.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline