Lihat ke Halaman Asli

Achmad Saifullah Syahid

TERVERIFIKASI

Penulis

Sekolah (Tidak) Ramah Anak

Diperbarui: 23 Januari 2020   03:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi anak-anak sekolah yang bermain. (sumber: KOMPAS.com/Indra Akuntono)

Meski masih didalami oleh pihak kepolisian, dugaan bunuh diri di sekolah sungguh merobek nurani. Akal sehat mandeg seketika. Logika pembenaraan dan pembelaan dikuras habis. Dan kita memandang tragedi kemanusiaan ini melalui kaca mata "itu-itu" saja.

Kita tidak segera menyadari apalagi mengakui bahwa pola belajar di sekolah telah menyemai benih mentalitas bunuh diri. 

Sekolah mengurung siswa ke dalam kerangkeng sistem belajar yang terang-terangan membunuh harga diri, membunuh "dna" setiap anak yang pasti berbeda, membunuh garis takdir masa depan, membunuh potensi otentik makhluk bernama manusia.

Apakah selama ini sekolah menjadi lingkungan yang ramah bagi anak? Jargon Sekolah Ramah Anak justru menegaskan fakta sebaliknya, sehingga sekolah merasa perlu meyakinkannya pada orangtua siswa.

Fakta sekolah tidak ramah terhadap anak bisa ditemukan jejak sejarahnya. Mulai dari pelecehan seksual, kekejaman verbal, hukuman yang melampaui batas kemanusiaan hingga perundungan yang diduga menjadi pemicu seorang siswa melakukan bunuh diri di sekolah.

Bukan hanya itu. Intoleransi bukan hanya menimpa kehidupan beragama. Di sekolah kerap berlangsung intoleransi. Kasus intoleransi itu kasus kemanusiaan.

Intoleransi adalah ketika engkau pergi makan malam bersama keluargamu di restoran mewah, dan pada saat yang sama tetanggamu puyeng cari utangan untuk bayar sekolah anaknya.

Kasus yang lain, bagaimana disebut toleran kalau 25 siswa dalam satu kelas harus menguasai setiap mata pelajaran dengan standar kemampuan yang sama?

Kalau satu kelas berisi 25 siswa, berarti ada 25 "takdir" Tuhan yang berlaku pada mereka; 25 potensi kelebihan sekaligus kekurangan; 25 "dna" otentik, 25 jalan masa depan lengkap dengan mozaik warna dan dinamika kehidupannya.

Sekolah telah membunuh atau setidaknya memandulkan potensi yang telah dititipkan Tuhan pada setiap anak. Pembunuhan itu dikerjakan oleh mekanisme model belajar yang tidak humanis. 

Gairah bertanya mati. Yang dihidupkan adalah keterampilan menjawab pertanyaan soal ujian.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline