Lihat ke Halaman Asli

Sri Wintala Achmad

TERVERIFIKASI

Biografi Sri Wintala Achmad

Sansan

Diperbarui: 17 Februari 2018   05:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

DI DALAM kamar belajar, Sansan tak membuka buku. Ia sangat muak dengan rumus-rumus matematika. Rumus-rumus itu sudah serasa disuntikkan gurunya di benak kepalanya. Ia senasib mesin, kalkulator, personal computer, atau android. Hingga keputusannya, ia tak akan mengerjakan pr aljabar-nya.

Pintu kayu bercat coklat tua dibuka dari luar. Ibu Eliana berang saat melihat Sansan tak membuka buku pelajarannya. Alat-alat tulisnya masih tersimpan rapat di kotak plastik kecil sepanjang 25 cm. perempuan paruh baya itu semakin berang, manakala anak bungsunya hanya menatap eternit putih susu. Menyaksikan sekawanan cicak yang lidahnya serupa batangan magnit mungil. Melahap nyamuk-nyamuk yang berkerumun di seputar neon 20 watt.

"Belum kau kerjakan pr-mu, Sansan?"

"Aku tak ingin jadi ilmuwan, Bu."

"Kau ingin jadi apa, anak bengal?"

"Pahlawan!"

"Kenapa?"

"Aku ingin menjadi cicak untuk nyamuk-nyamuk yang mengisap sehabis-habis darah ibu, ayah, dan kakak-kakakku."

Ibu Eliana menggebrak meja belajar. Kotak plastik yang berisikan alat tulis itu terpental. Pena, penggaris, penghapus karet, dan kalkulator berserakan di lantai berubin merah saga. "Kau tak mengindahkan pesan Kakek Abraham."

"Apa pesan Kakek?"

"Pesan beliau bahwa keturunannya dikharamkan menjadi pahlawan. Kau ingin tahu mengapa?"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline