Lihat ke Halaman Asli

Ketika Wallace di Makassar

Diperbarui: 26 April 2017   09:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber gambar: bumipoetra.blogspot.co.id

Sudah sebulan Wallace tinggal di Makassar. Ya, Alfred Russell Wallace. Penjelajah dan peneliti asal Inggris. Dia populer di mata para  penduduk. Anak-anak orang Belanda menghadiahinya beratus-ratus kupu-kupu, bertangkai-tangkai bunga bahkan daun-daun tumbuhan. Sementara kaum pemuda Bugis sering membawanya ke hutan untuk berburu hewan. Wallace juga sering diundang ke pesta yang diadakan orang-orang Eropa. Biasanya dia datang dengan membawa beberapa kupu-kupu awetan untuk dijelaskan ke sesama tamu.

Kami berkenalan saat gubernur mengadakan pesta untuk menyambut Wallace yang baru saja tiba dari Lombok di kediaman pribadinya. Saat dia mengeluh uang yang dibawa tidak cukup untuk menyewa penginapan dalam jangka waktu lama, tanpa pikir panjang kutawarkan sebuah rumah panggung kosong milikku di daerah Mamajang. Wallace langsung setuju. Sejak itu kami menjadi teman akrab.

Matahari agak terik, dan ini hari Jumat. Kantor tidak terlalu ramai. Satu-satunya kesibukan adalah memeriksa keadaan muatan berkarung-karung kopi yang akan berlayar menuju Amsterdam pagi tadi. Sesudahnya aku hanya membaca surat kabar dan berkas-berkas dari pihak bea cukai Batavia. Membosankan. Kuraih pakaian dan keluar kantor. Tak lama kemudian telah kupacu kudaku melalui jalan setapak pelabuhan untuk menemui Wallace. Mungkin ada satu dua cerita bisa kudengar. Kubawakan juga kue-kue kering dan teh buatan istriku.

“Apa ada orang di dalam?” Aku berteriak di depan pintu rumah.

“Masuk saja, meneer Mesman!” Balas Wallace, juga berteriak dari dalam.

Kubuka pintu, dan terlihat jelas ratusan helai kertas bertebaran tak karuan di lantai. Banyak macam hal yang tertera di atas permukaan kertas-kertas. Mulai dari catatan bertulis tangan, sketsa binatang, sketsa kasar jalanan kota Gowa yang dia kunjungi kemarin.

Kuletakkan bawaanku di atas meja penuh bekas percik tinta. Aku penasaran dengan apa yang sedang dikerjakan Wallace di ruang sebelah. Begitu masuk, sontak aku terperangah. Ratusan bingkai berisi kupu-kupu dan kumbang tertata rapi di dinding bambu, memanjang ke semua arah, seolah ini museum khusus binatang tropis dalam ukuran paling kecil. Sinar matahari yang menembus sela-sela atap daun rumbia membuat semua terlihat magis. Aku kembali menjadi anak-anak melihat hasil pekerjaan Wallace itu.

“Ah, silahkan duduk meneer Mesman,” Wallace menghentikan aktivitasnya mencatat untuk mengambil cemilan di ruang sebelah. Kutarik sebuah kursi kayu untuk diduduki.

“Terus terang aku terkejut dengan apa yang kulihat, Wallace,” kataku sembari tidak melepas pandangan dari figura-figura itu.

“Itu juga yang dirasakan Ali dan Badrun, dua pegawaimu saat pertama kali melihat ini semua,” Wallace tergelak sembari menuang teh panas.

“Hanya sebulan, dan kau sanggup menghasilkan figura-figura ini. Menakjubkan,” aku jarang memuji hasil kerja seseorang, kecuali yang kuanggap luar biasa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline