Lihat ke Halaman Asli

Achi Hartoyo

https://achihartoyo.com/

Puisi Tak Usai

Diperbarui: 3 Januari 2022   20:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pic by Pexels

Malam ini, daun menitikkan air hujan yang ia teguk. Luas permukaannya tak cukup menampung sesak rindu yang lesak. Berjejal-jejal. Siapa pun tau, rindu adalah busana bagi mereka yang memilih bersamadi di balik jeruji cinta.

Dan ... kata-kata ini adalah jembatan kokoh untuknya menyeberang. Jembatan yang menyeberangkan pikiran dan perasaan, sesak rindu, pendapat, kehendak, harapan yang rekah membuncah, agar sampai pada sebuah dermaga pemahaman.

Dahan ranting, ranjang tidur bagi daun kini telah patah sejak bayangnya memanjang, menjauh, dan menepi pada sebuah janji yang pejal, tetapi rapuh, luruh riuh bergemuruh penuh sesal. Seikat kata pernah menepi dan bersandar di sana. Sayang, jeruji kata kini telah ambyar. Tak ada lagi makna dan sepi dari sapa.

Pada roda sepeda, kita barangkali jeruji yang saling mengejar, saling berputar sekaligus menghindar. Layaknya kutub-kutub magnet yang rekat mengikat, sekaligus lompat melesat tanpa rantai ikat. Besi kokoh dengan kadar karat yang menyelinap di balik atom-atom hasil korosi. Teroksidasi oleh mimpi-mimpi basi.

Kalbu kadang datang untuk saling pandang. Angan menjulang tanpa palang hingga ke awang-awang. Tertiup badai. Usai.

Sekali lagi, daun kering harus tegar menyebar sabar. Ambyar buyar tak ada lagi mimpi berpijar-pijar. Mimpi kini hanya cahaya kunang-kunang yang penuh kenang, hinggap di kening yang hening.

Malam ini daun ingin bersulang kata. Menyambar rindu yang lapar. Jiwanya ingin terbang berkelana.  Naik kereta kencana, berencana kencan hingga ke nirvana. Melafaz rindu sampai tuntas. Swargaloka di antara taman maerakaca yang bersusun sedemikian rupa. Membiarkan jiwanya bebas mengembara ke dalam tubuh pujaannya.

Dua huruf "O" di dalam "roboh". Selalu bersisian meski terpisah "B". Berawal, bertemu, beriringan membentuk mimpi yang saling berseloroh. Berakhir roboh.  Sepakat berjarak, dekat penuh sekat. Tak lagi terikat, gelap berlipat-lipat. Tak ada lagi gelak dekap yang acap kali riak bergejolak.

Badar di atas samudra hening penuh kenang, teruslah berpijar meski cahayanya pudar. Biarkan pilu ini pelan-pelan susut. Meski saling pilin dan tak pernah beringsut dari kesat hati yang kusut.

Perihal daun, biarkan dia berteduh di bawah batang lapuk. Meski air matanya meluap, ia tetap senyap menyelinap di dalam kain lap. Angin bertiup lemah. Menuntunnya hingga ke nagari Jogja. Di antara jajaran kuda-kuda tanpa pelana, yang menarik kereta berupa-rupa warna. Di ujung sana kita menatap istana.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline