Lihat ke Halaman Asli

Abunawar Bima

Vini Vidi Vici

Ketika Ladole Menengok Kampung Halaman

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1430925567410043812

Ketika aku kembali dan menelusuri dusunku, disana kutemui rumah-rumah tua tak berpeng huni, tidak terawat, hanya tinggal hitung hari akan segera roboh, rumah-rumah itu ber-diri kesepian karena telah lama ditinggalkan oleh para pemiliknya, memilih merantau ke Ibu kota untuk mencari penghidupan yang lebih layak, atau menuntut ilmu dinegeri seberang.

Tidak ada salahnya jika ada yang menganjurkan atau mungkin ini adalah suatu fakta dari sebuah keadaan yang mengharuskan untuk pergi merantau ke Metro Politan atau daerah lain karena ketiadaan sumber penghasilkan yang mumpuni dikampung sendiri, maka berhondong-hondonglah orang keluar kampung untuk satu tujuan yang sama yaitu merubah nasib, Berhasilkah?

Yah…! Latar belakang kehidupan yang amat pelik dikampung adalah modal dasar yang amat kuat hingga seseorang mampu bertahan dengan kerasnya penghidupan di Ibu Kota, Kejamnya ibu tiri lebih kejam dari ibu kota, gak kuat mental siap-siap terpental, hanya ada dua pilihan : Bertahan atau pulang kembali kekampung?

Kata bertahan inilah yang menjadi rahasia dan kunci sukses dari beberapa nara sumber yang saya temui, terlihat dari kehidupannya yang sudah amat mapan, rezeki mengalir tiada hentinya bahkan menjadi Raja diatas Raja, karena begitu hebatnya dengan jabatan yang dia sandang, namun indahnya menikmati buah kesuksesan itu, sampai-sampai mereka lupa akan kampung halaman.

Disana masih ada rumah titian warisan yang dibiarkan sepi seakan tak bertuan, tak ada nilainya kalau dirupiahkan tetapi sesungguhnya rumah itu teramat banyak catatan yang telah tergoreskan, sadarlah…. disanalah sumber insipirasi hingga berkobarnya api semangat untuk berjuang hingga ahirnya mampu dan menjadi sukses seperti saat ini.

Ada desir kesedihan tiap kali memandangi rumah-rumah yang ditinggalkan itu, terdengar suara cekikikan dari dalam rumah dan aku sangat mengenal suara itu, yah suara teman-teman masa kecilku.

Dirumah inilah kami tumbuh, menghabiskan hari-hari mengisi waktu, bermain, berlari, tertawa, bertengkar, saling mengolok dan lucunya kalau sudah ada yang meraung-meraung menangis barulah berhenti dan pulang kerumah masing-masing sembari mengadu sama Ibu.

Aku jadi tersenyum sendiri, kejadian itu bagai diputar kembali, membuatku terpaku, terasa berat ingin beranjak dari tempat itu, namun perihnya sengatan mentari menyadarkan aku dari segala lamunanku.

Saya jadi teringat tulisan sahabat saya Sdr. Umar Ali, beliau mengatakan :
Kita semua tahu, banyak saudara-saudara kita Dou Mbojo yang tinggal diberbagai tempat baik dalam negeri maupun luar negeri. Saudara-saudara kita ini berkerja diberbagai tempat dengan berbagai macam profesi dan rata-rata hidupnya sudah mapan tapi jarang sekali mau menengok kampung halaman.

Ketidak pernah muncul sama sekali dikampung inilah, yang direspon negatif oleh saudara-saudara kita yang lain sehingga muncul beberapa komentar misalnya; ratabe mai kai na, ana cou si sia aka, ka anca nara, kana’e tuta di rasa dou, kaco’i ja pu dana ra rasa yang artinya : Dari mana, Anak siapa, Sok dan Sombong, Hargailah Tanah Leluhur dan sebagainya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline