Lihat ke Halaman Asli

Sabri Leurima

Ciputat, Indonesia

Di Saat Cinta Pergi Meninggalkan Luka

Diperbarui: 25 September 2019   23:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri

Deretan kebahagiaan terasa hampa diujung kericuhan aparat melakukan represif terhadap massa aksi. Semua yang kita lewati sekejab hilang seperti peluru tajam menembus dinding jiwa.

Belum pernah aku merasakan suasana luka seperti ini. Memang cinta menggilakan segala estetika. Perdamaian dihancurkan oleh kekuasaan. Lantas dirimu masih bersikap cengen atas kesalahanku dan memilih pergi meninggalkan perih di sendi-sendi selangkangan.

Teringat pesonamu yang dulu kau hamburkan pada jendela-jendelan masa depan saat aku masih kritis mengurus kebobrokan sistem negara. Kau bilang kau akan senang membaca chatku yang selalu kritisi negara, aku senang dan menghargai itu.

Lalu, semuanya kadaluarsa di atas meja makan. Nasi terasa asing tanpa garam. Bekas-bekas sampah plastik bubur ayam terindikasi penuh racung yang merugikan lingkungan. Aku selalu berharap kebagiaan itu terbit lagi di celah-celah kekosongan ruang rapat.

Tapi kegagalan dan kekecewaan tiada berfikir tanpa logika. Stagnan idealisme terjual di emperan kali yang baunya menyengat. Di kota tua kita berjanji untuk hidup dengan warna kita sendiri. Kesepakatan itu berakhir dengan ciumanku mendarat di dahimu.

Ah sialan, semestinya aku tidak harus merasa legah dengan kesopananmu. Harusnya aku berlagak kasar agar Dewan Perwakilan Rakyat itu tahu, bila penderitaan telah menghantam seluruh isi kepala.

Tibalah seseorang yang gagah berani mengajakmu berkenalan dan menuju pelaminan. Kau menyutujuinya tanpa konfromi denganku. Sengaja atau tidak, kau lebih suka tidak berdiskusi disaat- saat demontrasi meluap dimana-mana.

Rayuanku gagal mendahuluimu, tidak tajam dan tak percaya merupakan instrumen keberpihakanmu pada kehidupan yang baru dan menggusur panggun tradisional yang telah lama ditinggalkan leluhurku.

Ini bukan sentimen keceplosan asap yang terbakar di daratan Sumatera tanpa proses peradilan para pelaku kejahatan. Aku memaknaimu seperti hujan dan mentari yang memberi dinamika kehidupan pada rumput-rumput liar agar selalu bergoyang.

Yasudalah biarlah waktu menyertai keburukanku. Memberimu bekal dengan doa-doa terselubung ke surga jannah. Tapi ijinkan aku mengecup hidungmu yang halus dan mancung itu. Biarkan esekali aku ingin merasakannya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline