Its me, now...
....
Menderu seperti kereta ekspres di jalurnya. Sedikit berdecit namun waspada menatap jalan. Takut-takut roda-roda besi itu terlepas dari relnya yang mengkilat. Bising melesat bersama angin namun terus memburu waktu agar sampai tujuan seperti yang diharapkan para penumpang. Bahkan lebih cepat maka hal itu sangat diinginkan mereka. Hening. Gendang telinga masih berdengung, angin yang memburu itu membawa mimpi beberapa orang yang berdiri di pinggir rel. Tapi siapa peduli tentang itu semua. Mungkin sama seperti aku yang masih mantap duduk dengan secangkir kopi yang mulai dingin dan sebatang rokok yang mengepul bahkan menyala-nyala ketika kuhisap. Sepuluh tahun lalu, aku juga tak pernah berpikir akan bisa sampai di sini. Duduk tenang sambil mendengarkan lagu melow Celine Dion. Ya, lagu kesukaanmu. Suara emasnya mampu menusuk hati dan membuat bulu kuduk berdiri. Bahkan jiwa pun mampu terbuai entah ke mana melayang. Tinggi seperti ke langit ke tujuh. Cakrawala bebas tak ada gumpalan awan, hanya ada gemintang. Jiwa itu menari bebas dan berpetualang menyusuri waktu. Melesat seperti kereta yang melesat barusan. Tidak. Aku tak ingin mendarat. Aku ingin tetap seperti ini, melayang-layang di cakrawala tanpa batas. Tak peduli raga mulai menua dan melemah untuk bangkit. Aku akan tetap menjadi perempuan yang bebas. Bahkan hingga jiwa ini benar-benar terlepas dari raga busuk ini. Selamanya. Tetap menjadi yang terbebas.
Kebebasan menari di depan mataku, merah menyala dan berapi-api. Melambai-lambai berkilat seperti slow motion lampu jalan dalam waktu. Ah, kamu datang lagi mengusikku. Kini tak sama seperti dulu, yang tawarkan aku sebongkah coklat lumer atau sekadar mengajakku bersuka cita di atas dek kapal dengan sebotol air mineral kosong. Walau senyum itu bukan tertuju untukku. Aku runtuh dibuatmu, sayap-sayapku patah bersamaan. Aku terhempas. Sakit, begitu menyayat. Selalu begitu adanya.
Saat itu, kita masih sama-sama muda. Tepatnya puluhan tahun lalu. Begitu sempurna memburu waktu dan menari di atas ketidak tahuan. Begitu haus dahaga logika kita saat itu hingga tak sedikit argumen-argumen yang mampu mengerutkan kening-kening dan selalu memaksa untuk membenturkan kita pada kenyataan hari itu. Namun adrenalin kita terus berpacu dan rasa penasaran itu terlalu kuat. Bahkan kita tak pernah menyadari akan datang masa di mana kita akan berlainan arah dan terpisah. Tidak. Kita tak pernah tahu itu. Hingga masa itu benar-benar datang. Pohon kekar yang selalu menaungiku yang rapuh ini lelah menahan geliat kebebasan yang mengepak-kepak. Aku tak sadari itu. Imunku masih terlalu kebal untuk merasakan sakit itu. Aku masih menggeliat dan berayun-ayun kemana angin menggoyangkanku. Aku masih berdiri tegar tanpanya yang selalu mahfum dengan kebebasanku menari di atas padang. Namun ketika angin letih berdendang, sunyi di sekeliling menyadarkanku yang selama ini telah sendiri di tengah padang. Tak ada pohon kekar yang melindungiku, juga tak ada angin yang selalu menghiburku dengan dendangnya yang membuai. Imunku pun mulai luruh keletihan dan sakit itu mulai membuat lubang di hatiku.
Seperti ingin berlari bahkan terbang untuk sampai di hadapanmu untuk menuliskan banyak kata yang berkecamuk. Karena ya, ini bukan sekadar beretorika namun telah menjadi sebuah teori konspirasi dalam pertarungan ini.
....
Hujan. Hanya secangkir kopi tubruk yang masih mengepul dan dua batang rokok putih sisa kemarin. Aku kembali memandangi buliran hujan yang jatuh tak satu-satu lagi melainkan tumpah ruah di jalan setapak yang melintasi halaman kantor. Dengan sok filosofi, aku menikmati hujan walau sebenarnya aku belum bisa memaknainya bahkan sampai isapan terakhir. Kutinggalkan hujan dengan berjuta pertanyaan dan luka yang masih belum terobati. Tidak butuh waktu lama, aku kembali menatap layar monitor yang masih kosong. Ini semakin membingungkan. Gelisah semakin menyesakkan. Aku sungguh berduka. Bahkan melalui tulisan pun tak mampu terjelaskan. Aku benar-benar putus asa. Mungkin seperti ayam yang ingin bertelur, gambaran yang aku rasakan saat ini. Aku pun kembali beranjak dan kembali memandangi hujan. Hujan tak kunjung reda. Daun-daun basah berkilauan ketika terpantul lampu teras. Dingin begitu lengkap. Terbayangkan air yang dibawa commulus nimbus dari segala penjuru mata air di bumi ini berkeliling ke mana angin menghembuskannya hingga satu perintah sakral memintanya untuk tumpah ruah menjadi butiran hujan. Bumi beserta isinya pun bersuka cita. Dan Tuhan sangat adil memberlakukan itu. Begitu juga dengan berbagai pertanyaan yang tumpah ruah menghujami hatiku saat ini. Pertanyaan serangkaian puzzle itu membuatku terbungkam bisu. Kembali kuteguk kopi yang mulai dingin. Pahit di lidah ini seperti candu. Sekali lagi aku melayang mengarungi ruang tanpa batas.
Di sini, selamanya. Jiwaku melanglang buana tak menjejakkan kaki ke bumi seperti hantu. Mencari dan terus mencari sesuatu yang telah hilang. Memang telah lama. Bahkan aku pun lupa kapan terakhir aku mengucapkan tiga kata itu. Padahal beberapa tahun lalu, tiga kata itu selalu menghiasi setiap pesan pendek yang kukirimkan padanya. Tiga kata sakral itu merupakan kunci untuk membukakan pintu lorong yang mampu membawaku ke masa lalu. Dan aku masih menyimpannya sampai hari ini. Namun aku tak akan pernah tahu sampai kapan itu terus dilakukan. Mungkinkah akan ada saat aku memilih untuk melepaskan itu semua. Namun aku tak yakin itu. Bahkan sampai saat ini. Gelisah menyimpan tiga kata itu mulai meluluhkan pertahananku. Aku menggeliat kesal. Ruang ini terlalu sesak untukku. Aku harus kembali berlari bahkan terbang secepat kilat untuk mencarinya untuk menyampaikan tiga kata yang semakin berat kurengkuh. Aku tak ingin selamanya terjebak dalam kamuflase ini karena tiga kata itu hanya serangkai kata yang menahanku untuk menjadi bebas. Bertahun-tahun aku hidup dalam bayang-bayang masa lalu. Berharap itu bisa kembali, hingga aku sangat terlihat dungu mematung hampa di sini.
....
Di jutaan kilometer aku berdiri dari tempatmu bergumul dengan dia yang bukan aku.