Puasa Membentuhk Sikap Zuhd, Apa Dampaknya Bagi Kesehatan Mental?
AR. Zanky
Dikisahkanlah tentang seorang saudagar yang bangkrut telah patah hati pada dunia dan ingin mendedikasikan seluruh sisa hidupnya hanya untuk akhirat dan Tuhan. Dia mengembara ke sana kemari demi mencari guru spritual yang bisa membimbingnya menyudahi kegelisahan hati.
Semula dia mendatangi para asketis yang jauh berada di lembah dan gurun. Para saalik, pejalan ruhani, yang mengasingkan diri dari keramaian. Mereka yang mengkhususkan diri beribadah pada Tuhan. Namun pertemuan dan dialog yang terjadi tidak memuaskan hatinya. Musafir itu merasa ada yang belum sreg. Hatinya seperti masih belum menemukan tambatan.
Kemudian seseorang menunjukinya seorang guru sufi yang besar dan masyhur. Iapun pergi untuk menemui sang syekh. Sufi agung itu ternyata menempati sebuah rumah bak istana. Di kelilingi kebun, taman bunga, ruang benda antik, dan lain-lain.
Pendatang kepo itu terpesona dan termangu-mangu sendiri. Sementara di sekelingnya antri ratusan tamu dari berbagai pelosok. Dalam hati ia merasa hopeless dan nervouz. Beginikah kediaman seorang sufi besar? Ceteluknya dalam hati. Tapi ia masih penasaran. Iapun ikut antri bersama lautan manusia yang makin siang makin panjang.
Alhasil, bertemu juga ia akhirnya dengan sufi agung itu. Beliau sedang asyik makan enak.
"Apa keperluan anda?" Tanya tuan rumah.
"Saya ingin mengabdi pada Tuhan. Saya sudah bosan dengan dunia, Tuan."
Sang guru berdiam beberapa saat. "Kau sudah siapkan bekalnya? Karena itu memerlukan waktu yang lama."
"Tentu saja, Tuan. Saya telah membawa seluruh harta benda kemari ... astaga!"
"Kenapa?"
"Bekal saya tercecer, Tuan. Hilang. Mungkin saat berdesakan tadi..." Si musafir pucat pasi. Tamu itu jadi blingsatan.
Sang guru tersenyum. "Pulanglah. Kau tidak akan berhasil."
"Kenapa Guru?"
"Kau lihat rumah ini, kebun, taman, seluruh koleksi benda-benda tak ternilai ini, tak secuilpun bisa merisaukan hatiku. Tapi kau, hanya karena kehilangan segepok benda butut itu repotnya sudah luar biasa. Mana bisa hatimu diajak meninggalkan gemerlap dunia?"
Hikayat ini dituturkan oleh almarhum guru kami, KH. Bakhtani, di awal-awal pengajian kitab Mukaasyafatul Quluub karya Abu Hamid Al-Ghazali.
"Zuhd itu letaknya di hati," kata beliau. "Zuhd berarti hati dingin terhadap sesuatu yang berstatus dan bernilai fana. Bukan berarti kita tidak punya harta benda. Tapi hati yang zuhd, tidak bisa diusik oleh sesuatu yang bernilai fana. Hati yang zuhd itu bahkan tidak terusik andai ada gunung berapi meletus di samping kupingnya."
Zuhd adalah belajar mengurangi minat terhadap segala sesuatu yang tidak mengandung nilai.
Adalah keheningan hati di tengah keramaian dan segala imaji tentang nikmat kelezatan yang melalaikan hati dari Tuhan. Adalah situasi rohani yang kalis, khalis, bersih dari sangka buruk terhadap ragam penderitaan.
Ramadhan adalah bulan yang penuh pertimbangan dan permenungan. Dengan segala ragam estetika sosial, relaksasi terhadap keinginan, rutinitas yang membuka kemungkinkan pencerahan, muhasabah, serta perhitungan ulang nilai-nilai, secara halus kita sebenarnya diarahkan pada mental zuhd. Mental yang berpihak pada nilai perenial. Pada nilai-nilai kebadian.
Dan tirakat zuhd itu tidak mewah-mewah amat ternyata. Kita bisa memulainya dengan belajar merelakan benda-benda tak terpakai, makanan berlebih, berbagi Wi-fi, meluangkan waktu untuk membantu teman, mengalah ketika berkendara, sampai hal-hal yang lebih rumit dan menyita energi hati. Seperti menolak untuk korupsi, tidak mendukung pemimpin culas, rela menanggung sunyi karena membela orang tertindas, tidak gentar dikeroyok kezaliman, sabar menerima resiko pilihan moral, dan seterusnya.
Dengan membuka diri seluas-luasnya terhadap metode kebeningan pandangan yang ditawarkan Ramadhan, secara bertahap kita akan diantarkan menuju permenungan demi permenungan baru yang sebelumnya tak pernah terbayangkan. Tentang makan dan esensinya, tentang lapar dan efek katarsisnya, tentang solidaritas dan manfaat sosialnya, tentang ketulusan dan dampak kebahagiaan yang ditimbulkannya, tentang ibadah dan hakikat tujuannya, bahkan tentang hidup dan dunia dengan segala modus kamuflase dan penyamaran kepalsuannya.