Ayam Sayur di Meja Reuni
Reuni itu seperti membuka album kenangan---ada tawa, pelukan hangat, dan kisah-kisah lama yang mengalir seperti lagu yang tak pernah usang. Di sebuah kafe Jakarta Selatan, saya bertemu lagi dengan sahabat-sahabat seperjuangan. Kami dulu kuliah dengan bekal pas-pasan, ngekos sempit, makan seadanya, tapi dengan semangat besar menembus kerasnya ibu kota.
Kini, puluhan tahun kemudian, kami duduk melingkar. Beberapa di antara kami sudah jadi pengusaha, pejabat, pemilik proyek besar---termasuk saya dan seorang sahabat lama, Danang, yang kini mempekerjakan puluhan orang dan punya nama cukup mentereng di industri. Kami saling menyapa dengan bangga: bukan sombong, tapi bahagia melihat teman seperjuangan berhasil.
Sampai akhirnya, percakapan itu dibumbui satu komentar santai tapi menyengat.
"Eh bro, kamu kalah dong sama Danang... dia udah punya dua istri lho. Ayam sayur lo!"
Tawa meledak di meja. Saya tersenyum kecil, menyesap kopi saya tanpa membalas.
Bukan karena saya kalah. Tapi karena saya tahu, dalam dunia di mana kesuksesan lelaki kadang masih diukur dari jumlah istri, diam adalah kemenangan yang paling elegan.
Menopause Bukan Akhir, Tapi Awal Baru
Menopause bukanlah titik akhir. Ia hanya penanda bahwa tubuh seorang perempuan sedang bertransformasi. Produksi hormon estrogen menurun, siklus haid berhenti, dan perubahan fisik serta psikologis pun terjadi. Tapi perubahan ini bukan berarti perempuan kehilangan daya tarik, apalagi kehilangan nilai sebagai pasangan.
Banyak perempuan justru menemukan kebebasan dan kedewasaan baru setelah menopause. Mereka lebih bijak, lebih stabil, dan secara emosional justru lebih matang dalam membina relasi. Sayangnya, sebagian pria tidak melihat ini. Mereka hanya melihat perubahan bentuk tubuh, atau turunnya frekuensi hubungan seksual. Dan saat itulah, validasi maskulinitas diuji.
Ego Pria dan Hasrat untuk Diakui