Lihat ke Halaman Asli

Abdul Wahid

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang

Memperluas Zona "Investasi Kemanusiaan"

Diperbarui: 6 Oktober 2021   06:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Oleh: Abdul Wahid

Pengajar pascasarjana Universitas Islam Malang dan Penulis Buku

Sering terbaca realitas paradoksal di tengah masyarakat tentang doktrin agung seperti kewajiban mencintai atau menyayangi sesama manusia yang dihadapkan dengan kondisi masih masifnya berbagai sikap dan perilaku yang berpola mendestruksi dan mendisharmonisasikanya.

Ada segolongan orang yang giat berusaha menggalang karitas social atau menununjukkan jiwa kepedulian, meskipun mereka terkadang dalam menjalani kehidupan kesehariannya sering dihadapkan pada ragam kesulitan, khususunya kesulitan ekonomi, mereka ini merasa tidak takut akan kekurangan, pasalnya dalam dirinya ada keyakinan, bahwa mencintai atau berkepedulian pada orang lain adalah "investasi kemanusiaan" yang tidak ternilai.

Sementara di sisi lain yang berlawanan, masih banyak orang yang "memelihara" sikap dan perilaku yang jauh dari nilai cinta kasih pada sesama. Mereka bahkan aktif mencari peluang yang dikalkulasinya bisa mendapatkan keuntungan atau setidaknya mampu memenuhi kepentingan eksklusifnya, meski untuk pemenuhan ini, banyak orang dikorbankannya.

"Di mana ada cinta, di situ ada kehidupan", demikian ujar reformis India Mahatma Gandi, yang menunjukkan bahwa cinta seperti memasifikasikan "investasi kemanusiaan" itu menentukan corak kehidupan manusia. 

Bangunan hidup manusia baik dalam dimensi persaudaraan kerakyatan (ukhuwah istirakiyah), kemanusiaan (ukhuwah insaniyah), maupun kebangsaan (ukhuwah wathoniyah) ditentukan oleh cinta yang bersemi dalam diri manusia.

Nilai-nilai cinta kasih menjadi kekuatan moral (moral force) yang menggerakan atau memobilitaskan  terjadinya pertemuan dan integrasi  antar segmen bangsa yang berbeda etnis, budaya, agama, politik, pendidikan, ekonomi, status social, dan aspek-aspek lainnya yang semula menjadi sekatnya. 

Cinta mampu mencairkan bekunya hubungan antar komponen bangsa yang semula sibuk menganyam dan "memproduksi" friksi dan menkultuskan faksi-faksinya (golongan-golongannya).

Melalui cinta, ada emosi yang bisa diredam, ada gejolak egoisme yang perlu dikalahkan, ada birahi kepentingan duniawi yang tidak selayaknya dikiblatkan, dan ada tuntutan-tuntutan bercorak kepuasan dan kebahagiaan instan yang sepatutnya ditundukkan.

Dalam ranah utu, maka cinta merupakan kekuatan yang mampu menyangga sejatinya kehidupan. Seseorang dan kelompok yang semula terseret dalam arus kesewenang-wenangan atau praktik-praktik yang berpola ketidak-beradaban dapat disadarkan oleh kekuatan cinta, yang menempatkan manusia sebagai subyek yang wajib dimartabatkan, dan bukan "dibinatangkan".

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline