Lihat ke Halaman Asli

Abdul Wahid

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang

Mengikis "Pembantaian" Etika

Diperbarui: 8 September 2021   09:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh: Abdul Wahid

Pengajar Universitas Islam Malang dan penulis  buku

Masih ada gejala kuat di masyarakat tentang "pembantaian" etika. Ada banyak subyek bangsa yang mengikuti kecenderungan mencari puas, senang, dan terpenuhi kepentingannya sendiri, maski dengan cara-cara mengorbankan kepentingan kesehatan, keselamatan dan kehidupan orang lain. Mereka yang seperti ini bukan hanya dari kalangan orang berpendidikan rendah, tetapi juga berpendidikan tinggi dan berstatus sosial ekonomi mapan. Mereka gampang sekali menjatuhkan tangan jahat, kotor, dan zalim pada sesamanya, yang mengesankan kalau dunia ini miliknya sendiri.

Suatu ketika, Nabi Muhammad SAW didatangi seorang laki-laki.  Sambil berdiri di muka beliau, lelaki itu bertanya, "Ya, Rasulullah, apakah agama itu?. Beliau menjawab, "agama ialah akhlak yang baik". Laki-laki itu bergerak menghadap beliau dari arah kanan dan bertanya, Ya Rasulullah, apa yang disebut agama itu?. 

Beliau menjawab, "agama itu adalah akhka yang baik". Rupanya masih belum puas, laki-laki itu bertanya lagi dari sebelah kiri dengan pertanyaan yang sama, "apakah agama itu ya Rasulullah?, beliau menjawab; "agama ialah akhlak yang baik".  Kemudian laki-laki itu beralih ke belakang beliau, dan untuk kesekian kalinya bertanya lagi, Ya Rasulullah, apakah agama itu?. Beliau lantas menoleh kepada laki-laki itu, dan bersabda "Apakah engkau belum mengerti? "agama ialah engkau tidak boleh marah".

Sabda beliau menunjukkan tentang hubungan agama dan akhlak. Manusia beragama haruslah berakhlak yang baik. Akhlak adiluhung ini merupakan kunci utama yang menentukan apakah manusia masih layak menyandang prediket beragama ataukah jadi pengingkar agamanya.

Jawaban beliau berkali-kali tentang "agama ialah akhlak yang baik" itu mengisyaratkan bahwa beragama tanpa mengimplementasikan atau membumikan akhlak (etika) yang baik sama dengan tak beragama. Tak ada gunanya beragama jika pribadi manusia vakum dari sinar budi pekerti. Lantas mengapa transendensi agama ditentukan oleh budi pekerti luhur atau etika mulia ini? Mengapa suatu bangsa tidak boleh sampai dikuasi oleh manusia-manusia yang mengumbar "pebantaian" etika (luhur).

Akhlak mulia merupakan energi yang memondasi, menggerakkan dan mengawasi gerak kehidupan manusia selaku individua, komponen sosial, elemen politik, pilar ekonomi, penjaga gawang penegakan hukum, perekat kultur dan interaksi antar warga bangsa.

Akhlak itu menyentuh realitas empirik yang mengawal dan menunjukkan jalan putih yang seharusnya dilalui manusia,  piranti kebenaran yang wajib dijaga, garis loyalitas kemanusiaan, poros komitmen kebangsaan dan persaudaraan dalam perbedaan serta berbeda dalam persaudaraan yang harus disejarahkan.

Manusia dididik oleh akhlak mulia untuk jadi pejuang dan pembela kebenaran, tak membiarkan keadilan terpasung atau dikebiri oleh kejahatan. Manusia dididiknya agar jadi pelaku sejarah yang tak memenangkan dan  mempanglimakan (baca: mensuperioritaskan) kepentingan kelompok, arogansi etnis dan target primordialisme.

Privilitasnya lagi, akhlak mulia itu dapat mengawal praktik pemimpin bangsa dalam menjalankan roda pemerintahan agar tetap menyala dan membara komitmen kerakyatannya. Gerak pemimpin ini diharapkan tetap berada dalam "wilayah" jaring normatif yang memberdayakan dan mengadvokasi kesucian amanat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline