Lihat ke Halaman Asli

Aan Hasanudin

Senang bercengkrama denganmu

Stigma Buruk Anak Broken Home: Analisis Stigma dan Identitas Erving Goffman

Diperbarui: 13 Mei 2020   15:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh : Mohammad Ilham Bahraen

Mahasiswa Universitas Brawijaya

Dalam pembahasan mengenai kehidupan berumah tangga, kita sering mendengar istilah Broken Home, istilah ini digunakan untuk mengistilahkan kondisi ‘perceraian’ dalam suatu hubungan suami dan istri dengan sebab-sebab tertentu. Tetapi dalam pembahasan kali ini, kita tidak akan membahas mengenai perkelahian atau perselingkuhan antara sepasang suami-istri. Pada pembahasan ini kita akan lebih membahas mengenai anak-anak yang mengalami kondisi broken home ini. Kondisi broken home , permasalahannya tidak bisa dibatasi hanya sekedar membahas permasalahan sepasang suami istri, tetapi efek dari kondisi ini juga akan berpengaruh pada kurangnya perhatian dan kasih sayang orang tua terhadap anaknya. 

Permasalan broken home  ini merupakan masalah yang menjadi perhatian khusus bagi penulis, jika kita lihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS) yang juga di lansir pada situs databoks.katadata.co.id, menjelaskan bahwa kasus perceraian di Indonesia semakin meningkat setiap tahunnya. 

Pada 2018, angka perceraian Indonesia mencapai 408.202 kasus, meningkat 9% dibandingkan tahun sebelumnya. Penyebab terbesar perceraian pada 2018 adalah perselisihan dan pertengkaran terus menerus dengan 183.085 kasus. Kemudian disusul oleh faktor ekonomi yang menempati urutan kedua sebanyak 110.909 kasus. Maka dengan data ini, dapat kita bayangkan, berapa banyak anak yang sebenarnya yang mengalami kondisi ini, bahkan mungkin anak itu sudah sejak kecil melihat pertengkaran kedua orang tuanya tampa ia memahami permasalahan apa yang dipertengkarkan kedua orang tuanya.

Pada analisis dasar eksklusi sosial, sebenernya sudah tampak jelas anak yang mengalami kondisi keluarga yang broken home memiliki kesenjangan jika dibandingkan anak yang kondisi keluarganya baik-baik saja. Eksklusi sosial sendiri diartikan sebagai kondisi dimana orang-orang tidak memiliki kemampuan untuk berkontribusi secara sumberdaya maupun moril, atau dapat dikatakan dimana seseorang terkucilkan. Orang yang tereksklusi dapat dilihat dari keterbatasan seseorang dalam mendaatkan akses tertentu. 

Maka, dengan adanya peselisihan antar kedua orang tuanya, anak yang mengalami kondisi broken home, sulit untuk mendapatkan kasih sayang seutuhnya dari kedua orang tuanya, sering kali ketia kedua orang tuanya tersebut bercerai atau “pisah ranjang”, sang anak akan disuruh untuk memilih, apakah dia akan ikut tinggal bersama bapaknya, atau ibunya. Bahkan terkadang terdapat kasus dimana seorang anak ikut merasakan kekerasan dari orang tuanya yang sedang berselisih satu sama lain. 

Solusi dari eksklusi sosial adalah inklusi sosial, yaitu sebuah agenda untuk memfasilitasi, memperkaya dan menambah kapasitas individual maupun kelompok melalui kesempatan dan partisipasi bagi orang yang tereksklusi. Maka dari itu banyak upaya-upaya yang dilakukan untuk meng inklusi kan anak-anak yang bermasalah, seperti Komisi Perlindungan Anak, dan Lembaga Pengkajian Kemasyarakatan dan Pembangunan  (LPKP), LSM yang bergerak dibidang isu eksklusifitas, termasuk remaja dan anak.

Lebih dari itu, dengan segala kesenjangaan antara anak-anak broken home dengan anak-anak yang kondisi keluarganya tidak ada masalah. Masih ada hal buruk yang harus menimpa mereka, yaitu stigma buruk dari masyarakat terhadap anak-anak broken home. Stigma sendiri menurut Ervin Goffman dalam (Ardianti, 2017) menjelaskan bahwa stigma merupakan tanda-tanda yang ada dalam diri seseorang yang kemudian akan menginformasikan kepada masyarakat bahwa orang-orang dengan tanda tertentu merupakan seorang yang seperti apa, entah itu akan berartian baik maupun buruk. 

Pada pendapatnya ini, Goffman juga mengkaitkan dengan konsep identitas. Identitas terbagi menjadi dua, yaitu virtual social identity atau identitas yang terbentuk dari apa yang kita asumsikan terhadap seseorang, dan actual social identity, yaitu identitas yang telah terbukti. Lebih mudahnya mengenai stigma, merupakan sebuah pandangan tertentu dari seseorang terhadap orang lain.

Dalam kasus anak-anak yang berapa pada kondisi broken home ini, ternyata anak-anak ini sering kali dianggap oleh masyarakat sebagai anak yang nakal, ‘bandel’, tidak penurut, dan tidak pintar. Dengan kata lain jika terdapat anak yang nakal, kebetulan dia anak yang orang tuanya bercerai, maka masyarakat seakan sudah mewajarkan, karena memang anak yang seperti itu biasanya nakal-nakal. Begitulah stigma masyarakat terhadap anak-anak broken home, mereka dianggap anak yang nakal, atau paling tidak jika mereka berperilaku buruk, hal itu sudah wajar. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline