Lihat ke Halaman Asli

Tri Sapta Mw

Menulis untuk menambah pengetahuan. Amunisi menulis adalah membaca.

Ibu Tangguh

Diperbarui: 6 Desember 2020   23:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya dan anak-anak/dokpri

Semua orang pasti punya kenangan dengan ibunya. Apalagi Ibu adalah guru pertama kali dalam hidup. Sejak dalam perut, kita mendengar yang ia katakan. Bahkan jauh dari itu, karakter dan sifatnya dalam perjalanan hidup sebelumnya.

Saya mengamati banyak pelajaran dari ibu-ibu di keluarga saya. Karakter yang kemudian melekat dan membentuk pribadi bagi anak-anaknya.

Pertama nenek saya. Kakek saya meninggal ketika anak-anak belum selesai sekolah. Tiga orang baru di Sekolah Menengah Atas, tiga lainnyanya masih SD. Satunya lagi masih balita.

Tante saya cerita, sepeninggal kakek, mereka tinggal di rumah gubuk di kebun, tak ada listrik. Nenek tak punya ketrampilan selain membuat kue  dan memasak. Sementara Kakak-kakak yang bersekolah sederajat dengan SMA sudah tidak satu kota.

Tiap hari tante berjualan kue. Setelah bude saya bekerja jadi guru, tante dan nenek ikut pindah ke Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Tadinya di Pelaihari. Tante menjual kue sagon berkeliling. Sekolah tetap rajin. Selanjut nenek pindah ke Binuang. Beliau menjadi tukang masak di BPP, Balai Pelatihan Pertanian. Memasak untuk ratusan peserta. Ekonomi bergulir sedikit membaik, tante bisa kuliah ke Bogor. Mama, Bude, tante yang lain patungan untuk kuliah Tante.

Nenek pernah mendapat hinaan, masak sih tukang masak bisa mengkuliahkan anaknya. Pada saat itu kuliah ke Jawa sesuatu hal yang dianggap mewah dan sulit dicapai oleh orang kebanyakan. Siapa sangka tante, waktu kecil penjual kue, setelah dewasa, beliau menjadi doktor.


Kedua tentang Ibu saya, ekonomi keluarga saya pasang surut. Waktu kecil saya, membungkus nangka, bijinya ditanam ayah saya. Beliau usahanya pembibitan. Nangkanya saya antar bersepeda ke restoran dekat rumah.

Hargai waktu, manfaatkan waktu dengan baik.

Ibu sangat ketat dalam mengatur waktu. Dari jam tidur siang, bermain, ekskul. Zaman saya kegiatan ekskulnya disediakan dari sekolah karawitan, menari  Jawa, silat. Saya ikut semua. Tidak itu saja saya ikut juga menari tarian Banjar, om saya guru tarian Banjar. Sekali seminggu saya ikut rebana.

Saya tidak fokus, bagaimana tidak. menari Jawa dan karawitan perlu kehalusan sedang tarian Banjar dinamis juga silat. Karena masih SD, Ibu saya membiarkan. Hal penting bagi saya adalah menikmati dan sampai selesai. Tidak malas-malasan. Saya bersepeda ke sekolah, kurang lebih 2 km dari rumah saya. Jadi pulang sekolah, istirahat sebentar di rumah lalu balik lagi ke sekolah. Konsisten saya lakukan hingga lulus SD

 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline