Bagi perantau, tidak ada hal paling memilukan dari Ramadan selain rindu kampung halaman. Dengar tilawah, mata berkaca-kaca. Tengah tadarus, air mata meleleh. Saban mau sahur, pipi berasa basah. Mau berbuka puasa, pelipis hangat karena air mata.
Ramadan memang ditunggu-tunggu, tetapi kehadirannya sering sekali menyuguhkan pilu. Rindu kampung halaman gara-garanya. Jika ibu dan ayah masih ada, keinginan bertemu begitu menggebu-gebu. Jika ibu dan ayah sudah tiada, keinginan bertelimpuh di pusara tidak tertahankan.
Bukan hanya itu. Ramadan mengundang sejumlah pertanyaan.
Bagaimana suasana subuh di kampung halaman hari ini? Selepas salat Subuh, sebagian warga kampung tumpah ke jalan. Berolahraga. Ada juga yang bersepeda, ada yang berjalan. Bercanda hingga matahari tiba, tertawa hingga keringat membasahi tubuh.
Bagaimana suasana pagi di kampung halaman hari ini? Dulu semasa di kampung, pagi kami isi dengan membaca buku bersama, berbagi cerita bersama, melatih keterampilan berbicara dan berdebat, serta membacakan dongeng. Saya kangen sekali!
Bagaimana suasana siang hari ini? Masjid Nurul Muhammad, begitu nama masjid di kampung kelahiran saya, selalu dipenuhi warga setelah salat Zuhur. Ada yang leyeh-leyeh bersandar di dinding masjid sambil menghitung butir tasbih, ada yang tadarus, ada yang iktikaf.
Bagaimana suasana petang hari ini? Selepas salat Asar, anak-anak belajar mengaji. Anak-anak muda tanggung berlatih mengisi kultum Tarawih. Ada yang latihan tilawah, ada yang menguji nyali sebagai protokol, ada pula yang bersiap mengisi kultum.
Bagaimana suasana persiapan buka bersama hari ini? Di Borongtammatea, kampung kelahiran saya, buka bersama adalah ritual gotong royong. Beberapa kepala keluarga bancakan takjil. Apa pun yang mereka sediakan akan dilahap bersama-sama oleh warga di masjid. Romantika takjil.
Bagaimana suasana Tarawih hari ini? Jemaah selalu penuh sejak awal hingga akhir Ramadan. Kalaupun berkurang, biasanya menjelang Lebaran. Ibu-ibu sibuk bikin kudapan dan penganan. Yang paling terkenang, latihan tampil di depan publik. Kami dilatih sejak kecil untuk mengisi acara kultum. Hanya sesekali ceramah diisi oleh ustaz, kiai, atau dai ternama.
Ramadan tahun ini, kampung kelahiran sudah pindah ke tangan anak-anak muda. Generasi demi generasi telah berlalu. Mula-mula generasi kakek Makkarawa, Punda Manrawa, dan Silang. Lalu generasi ayah saya, Paseway, Syarifuddin, Natsir, dan Bachar.
Sekarang wajah Borongtammatea berada di tangan Nur Amin Rauf, Ryan Afrianto, Rahmat, Nur Awwaluddin Tanwir, Miftahul Fitrah Ramadhan, Aswar Anas Mapparenta, dan Sarwan Al-Mutanzar. Kelak akan berpindah kepada generasi berikutnya.