Lihat ke Halaman Asli

Zubairi

Penulis Artikel Ringan

Warung Kelontong Madura di Perantauan Vs Lokal

Diperbarui: 22 November 2022   20:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Toko Kelontong via marketing.co

Di beranda Facebook utamanya, seringkali saya menemukan orang-orang berkomentar tentang warung Madura. Intinya dari komentar tersebut terlontar agak kaget dan jenaka kayak gini: kenapa warung kelontong Madura tak pernah tutup, 24 Jam buka. Kayak UGD segala.

Warung Madura yang dimaksud tak pernah tutup dan mayoritas buka selama 24 jam itu adalah warung kelontong Madura di perantauan, di luar pulau Madura, di Jakarta, Jogja, Surabaya, Sidoarjo dan sekitarnya. Barangkali orang-orang sempat berpikir dan bertanya-tanya: apakah di Madura (lokal) warung Madura juga nonstop 24 jam kayak di perantauan? Mbuh, tidak. Asli ngenes. 

Orang yang berpikir demikian, saya akui bahwa itu memang sangat masuk akal sekali. Sebab, tidak tutupnya warung Madura di seberang sana, semacam sudah menjadi ikon yang cukup ikonik. Khas sekali. Dan memang begitu "kebiasaan" orang Madura di tanah rantau dalam menjaga warungnya: nonstop, mayoritas. Dan ketika kita berbicara "kebiasaan", lalu tertanam rapi di perantauan, akal sehat kita pastinya yakin kalau kebiasaan itu adalah berangkat dari tempat di mana ia dilahirkan. 

Contoh konkretnya, orang Madura yang sangat masyhur adalah tangguh dan pekerja keras dalam mencari nafkah. Orang Madura yang macam ini, memang sudah sangat terlihat di perantauan. Kebiasaan orang Madura bekerja yang terlihat tanpa lelah itu, memang lahir dari bumi Madura itu sendiri. Meski tak merantau sekalipun, orang Madura dalam bekerja untuk meraup penghasilan memang seakan tak mau berhenti dari kerjanya kecuali alat kerjanya rusak dan tak bisa dipakai lagi. 

Mereka betul-betul ulet dan tekun sekali tanpa mengenal rasa lelah saat bekerja. Dan ketika bekerja ke luar daerahnya, semakin agresif dan lebih bergairah lagi.

Akan tetapi, tidak dengan warung di Madura lokal dan orang-orang yang menjaganya. Percayalah!  

Maksud saya gini. Orang Madura yang menjaga toko kelontong di luar daerahnya yang sangat agresif macam striker bola yang haus gol itu, tidak lahir dari kebiasaan yang tangguh dan tak kenal capek dalam menjaga tokonya di Madura. Yang ada, yah sebaliknya. Ini buat orang yang punya toko di Madura. Nih, ya saya kasih tahu, nih (setahu saya, lho). Jarang-jarang juga saya beri pengetahuan kek gini. 

Jangankan toko itu buka hingga jam 2 dini hari seperti di bumi perantauan, jam 11 malam itu sudah lumrah tutup. Ya, lazim maksud saya, bukan lantas tutup semua. Ada, sih sebagian.  Itu pun bisa dihitung dengan jari kuda. Kalau pun ada, sangat cukup susah untuk mencari toko kelontong Madura di Madura yang buka hingga jam 2 dini hari tadi. Nyaris mustahil dan nihil ketemu.

Yang ada, meski tokonya sudah tutup, ya kulkas dan kerupuknya saja digantung di luar toko itu. Tapi, tak boleh diambil. Retak kepala kau. 

Mencari toko kelontong Madura di Madura lokal, yang buka pada jam 12 hingga jam 2 atau bahkan 3 dini hari, adalah cara seseorang mencari penderitaan yang cukup sederhana untuk menyiksa dirinya sendiri. Kalau sampeyan ini tak percaya, silakan datang ke Madura. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline