Lihat ke Halaman Asli

Trisno Mais

Skeptis terhadap kekuasaan

Dandes Berkah atau Malapetaka

Diperbarui: 12 September 2017   15:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

OTONOMI Desa sebagai konsekuensi dari azas desentralisasi dalam proses penyelenggaraannya tidak akan terlepas dari pembiayaan, penyediaan sarana dan prasarana dan kualitas sumber daya manusia (SDM) aparatur agar otonomi desa dapat berjalan dengan baik. Pada hakekatnya dengan otonomi yang diberikan kepada desa, diharapkan akan bisa mewujudkan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Lahirnya Undang- undang no 06 tahun 2014 tentang Desa merupakan jawaban, juga bukti konkret keberpihakan pemerintah pusat terhadap desa dalam berkebijakan. Karena tak dipungkiri desa selama ini kurang diprioritaskan---mungkin juga---karena faktor ketidak pedulian atau bahkan orientasi pembangunan dilakukan hanya berfokus di kota, akibatnya desa tetap menjadi objek yang dimarginalkan dalam konteks pembangunan. 

Selain itu juga, konsep pembangunan bangsa ini, masih terjebak pada bagaimana mengejar pertumbuhan, dan bukan pemeratan. Di sisi lain, desa yang sebenarnya menjadi 'tulang punggung' bangsa, pada kenyataannya kurang diberi 'jatah'; ketimbangan masih saja menjadi santapan keseharian masyarakat pedesaan, ekonomi masyarakat apalagi, bahkan minimnya lapanagan pekerjaan. Padahal desa memiliki beragam potensi. Soal lain, desa juga mampu memberikan kontribusi untuk ekonomi bangsa. Namun ironinya, negara dalam berkebijakan masyarkat masih dijadikan 'tumbal'.

Dana desa adalah jawaban atas kegalauan masyarakat selama puluhan tahun. Konsep pembangunan yang digagas oleh pemerintahan Jokowi, misalnya yakni membangun dari desa setidaknya sedikit melepaskan rantai kemiskinan secara terstruktur yang terjadi selama ini. 

Dana desa telah diatur dan bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yakni Dana Desa adalah Dana yang bersumber dari APBN yang diperuntukkan bagi Desa yang ditransfer melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten/Kota dan digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat. Selanjutnya Dana Desa tersebut ditransfer melalui APBD kabupaten/kota untuk selanjutnya ditransfer ke APB Desa.

Dengan semangat membangun dari desa, kini pemerintah pusat tidak segan-segan menaikan jumlah penyaluran dana desa. Pencairannya bertahap, mulai dari 2016 sesuai ketetapan APBD tahun itu, dana desa ditetapkan menjadi Rp 46,9 triliun. Dan 2017 setiap desa akan menerima kembali sekira Rp 1 miliar, hingga pada 2018 dana desa dinaikan menjadi 120 triliun. Peningkatan dana desa setiap tahun bisa saja menjadi 'lumbung mafia kampung' jika tidak ditunjang dengan kemampuan yang tinggi dari pemerintah desa. Artinya, hal ini bisa saja bukan menjadi berkah terhadap desa untuk mengejar ketertinggalan, tapi akan berpoetensi pada 'jeratan maut'. 

Dandes Berpotensi Bawa Kades Hijrah ke Jeruji Besi?

Kesannya terlalu ekstrem asumsi penjabaran asumsi dari penulis. Tapi hal ini akan menjadi fakta, takalah dana desa disalahgunakan. Karena idealnya dana desa merupakan solusi penanggulangan kemiskinan. Yakni orientasi pembangunan yang dimulai dari desa. Dengan suplai anggaran pemerintah pusat terhadap desa diharapkan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi desa. Namun pada bagian lain, dana desa akan menjadi 'ranjau' kepada pemerintah desa (Pemdes). Karena soal ketidakcakapan penguasa anggaran di desa. Artinya, masih banyak kepala desa yang tidak mampu mengelola dana desa secara komprehensif. 

Menteri Desa, Pembangunan Desa Tertinggal, dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo telah meningkatkan pencairan dana desa 2018. Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun depan dana desa mencapai Rp 120 triliun. Kenaikan dandes jika tidak ditunjang dengan kemampuan pengelolaan keuangan yang baik, maka bisa dipastikan, selepas menjabat para kades akan hijrah ke jeruji besi.

Fenemona penyelewengan dana desa sangat kompleks. Tapi penulis mencoba menyederhanakan faktor- faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya penyelewengan dana desa. Dalam hal ini, penulis memandang bahwa korupsi hanya akan bisa terjadi jika pemerintah desa tidak memiliki kemampuan dalam mengelola dana desa. 

Faktor pendidikan misalnya. Bagi penulis, syarat pendidikan untuk kepala desa penting, dan wajib hukumnya; tidak bisa dianggap enteng. Sondang Siagian misalnya dalam teori kepemimpinan menjabarkan terkait teori kepemimpinan. Satu diantaranya pemimpin yang karismatik. Dirinya dalam teori tersebut mengakui bahwa pemimpin akan diakui dan memiliki pengikut yang banyak jika dirinya diwarisi dan memiliki jiwa kepemimpinan yang diwariskan. Artinya pemimpin tidak perlu dicoaching, karena sejak lahir dirinya telah diwariskan menjadi pemimpin. Tipologi kepemimpimn sejenis ini jarang ditemui dalam sistem demokrasi yang kita anut saat ini. Karena kepala desa akan menjadi pemimpin, karena dihasilkan dari hasil dari pesta demokrasi di tingkatan desa. Nah, pada bagian ini diatur dalam regulasi. Mulai dari kriteria kelayakan kepala desa hingga Track record nya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline